"Lagi-lagi lembur ...." Jiho bergumam pelan, lalu menghela napas sembari menatap prihatin ke arah lelaki yang telah menikahinya semenjak lima belas hari yang lalu. Dan selama itu pula, Jiho merasa bahwa dirinya tidak benar-benar menjadi seorang istri.
Well, mereka memang selalu tidur bersama. Bahkan sebelum menikah pun, mereka cukup sering tidur bersama. Namun, itu hanya sebatas tidur. Selain waktu malam, sulit sekali bagi Jiho untuk melihat wajah suaminya. Sekalipun bisa, Jiho hanya dapat melihat wajah sang suami yang terus sibuk dengan pekerjaan.
Bahkan hari ini pun juga tidak ada bedanya.
"Besok sudah hari ke-16. Apa Anda akan membiarkan saya tidur lebih dulu lagi?" Jiho bertanya pelan. Sangat pelan. Itu seolah Jiho bertanya pada dirinya sendiri.
"Sayang?"
"YA!" Jiho dengan antusias berseru. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, Jaehyun menyadari keberadaannya. Namun baru sebentar Jiho merasa begitu, untuk yang kesekian kalinya Jiho kembali menghela napas. Lagi-lagi, Jiho berhasil dikalahkan oleh pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya itu.
"Udah jam segini, kenapa belum tidur?" Sembari terus membolak-balikkan halaman dokumen, Jaehyun bertanya pada Jiho yang masih berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Bahkan, melirik ke arah Jiho pun tidak.
"Mama bilang, tidak sopan berbicara dengan orang lain tanpa menatap lawan bicara," ujar Jiho.
Dan, ya, Jiho harus menunggu selama beberapa saat demi mendapat respons dari Jaehyun.
"Saya—"
"Ya? Tadi kamu ngomong apa, Sayang?"
Selain tidak didengar, diabaikan pula.
Jiho benar-benar benci. Terutama, pada dokumen yang menumpuk di meja kerja itu. Entah mengapa, Jiho merasa begitu iri karena Jaehyun lebih perhatian pada benda tak bernyawa tersebut.
"Tidak ada. Saya hanya melantur saja," sahut Jiho. "Kalau begitu, saya tidur duluan," pamit Jiho seraya mundur beberapa langkah, lalu menutup pintu ruang kerja suaminya.
Di setiap langkah kaki yang diambil, Jiho terus menggerutu. Namun jika dipikir-pikir lagi, Jiho merasa sedikit heran. Bagaimana bisa Jiho baru merasa kesal setelah lima belas hari diabaikan?
Di sisi lain, Jiho merasa sedikit menyesal karena bersikap kekanakan seperti tadi di hadapan Jaehyun. Padahal, Jiho amat mengetahui betapa sibuknya Jaehyun saat ini.
Setelah melakukan perundingan bersama, Taeyong, Om Yejun, dan Papanya Jaehyun, Jaehyun memutuskan untuk melepaskan jabatannya di City Group, lalu beralih ke Star Miracle. Yang mana itu merupakan perusahaan peninggalan orang tuanya Jiho.
Karena itulah, Jaehyun hampir tidak punya waktu untuk Jiho. Kendati demikian, alih-alih melanjutkan pekerjaannya di Kantor, Jaehyun lebih memilih untuk membawa pulang pekerjaannya, lalu menyelesaikannya di rumah. Untuk satu hal itu, Jiho sendiri bingung harus merasa senang atau malah sebaliknya.
Dalam waktu lima belas hari itu, Jiho juga cukup sering ditinggalkan oleh Jaehyun. Itu karena perjalanan bisnis yang mendadak—yang bahkan sulit untuk diundur. Karena itu pula, Jiho kadang menginap di rumah lamanya, rumah Ibu dan Ayah, rumah Tante Aeri, juga rumah mertua. Intinya, Jiho merasa bahwa dirinya merupakan rusa kutub versi manusia, karena hidup dengan terus berpindah tempat.
Jiho baru saja masuk ke kamar. Kamar milik Jiho dan juga Jaehyun. Namun di kamar itu, jejak-jejak kehidupan Jaehyun sedikit sulit untuk ditemukan. Dibandingkan di kamar, lebih mudah bagi Jiho untuk mendapatkannya di ruang kerja Jaehyun.
Masih dengan perasaan yang sama, Jiho melempar diri ke kasur. Dalam sepersekian detik, Jiho mengumpat pelan. Itu karena hal pertama yang dilihat Jiho adalah foto pernikahan yang terpampang jelas di dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)
FanfictionSetelah kejadian yang dialami Jiho tiga tahun lalu, Jiho memiliki tekad kuat untuk meninggalkan dunia yang kian terasa memuakkan. Akan tetapi tekad Jiho perlahan goyah tiap kali Jiho dihadapkan dengan berbagai hal yang membuat Jiho mau tak mau haru...