Setelah memastikan Jaehyun benar-benar tertidur, Jiho memutuskan untuk melaksanakan rencana yang seharusnya dilaksanakan dari awal.
Semenjak kejadian malam itu, malam di mana Jiho mendapatkan pengalaman yang amat mengerikan itu ... Jiho terus merasa bahwa seseorang terus memantau segala aktivitasnya. Tiap kali Jiho keluar rumah, Jiho selalu merasa bahwa dirinya sedang diikuti. Selama ini, Jiho terus menepis—menyangkal bahwa mungkin saja hal tersebut hanya sebatas khayalan. Namun setelah mendapat pesan teror malam itu, Jiho jadi yakin bahwa hal yang disangka sebagai khayalan itu memang nyata terjadi. Dan setelah memikirkan dengan baik, Jiho merasa bahwa seseorang itu hanya muncul saat Jiho sedang bepergian seorang diri.
Sejauh ini, semuanya berjalan dengan sesuai apa yang diharapkan Jiho. Mulai dari membuat Jaehyun tertidur agar bisa keluar tanpa mendapat pengawasan dari Jaehyun, lalu mendatangi kembali rumah yang telah cukup lama ditinggalkan oleh Jiho. Rumah orang tuanya, tempat di mana segala kenangan baik dan buruk Jiho tersimpan di sana.
Jiho berdiri cukup lama di hadapan pintu rumah. Melangkah masuk ke dalam tempat itu merupakan hal yang selama ini dihindari oleh Jiho. Namun demi memancing seseorang yang terus mengikuti semenjak Jiho keluar dari rumah Suho, Jiho terpaksa harus membuka pintu rumah tersebut.
Karena tahu bahwa hal yang akan dialami merupakan pertarungan antara hidup dan mati, Jiho bertekad mempertaruhkan nyawanya di tempat ini. Jiho merasa bahwa dirinya telah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Jiho sudah terlalu lama dimanja oleh Suho. Ditambah lagi, Jiho sudah terlanjur nyaman dengan keberadaan Jaehyun dalam hidupnya. Sebab itulah, setidaknya untuk satu kali saja, Jiho ingin bertaruh atas hidupnya sendiri tanpa mengandalkan orang lain.
"Mama ...." Jiho terduduk. Kakinya mendadak terasa lemas, mengapa berada di tempat yang menjadi tempat pulangnya dulu terasa begitu mencekik? Jiho seolah kehabisan oksigen kala netranya secara tidak sengaja melihat ke arah bingkai foto pernikahan orang tuanya yang tergantung di dinding. Melihat sosok orang tuanya yang tersenyum di sana, entah kenapa kebahagiaan yang saat itu dirasakan oleh kedua orang tuanya seolah dapat dirasakan Jiho. Senyuman yang terpatri di sana bagaikan bunga yang tengah bermekaran di musim semi. Di saat yang sama, Jiho sangat ingin menghukum dirinya sendiri karena dengan tidak tahu malunya telah melupakan sosok Papa. Semenjak tiga tahun yang lalu, sosok Papa yang tinggal dalam ingatan Jiho hanyalah Papa yang dilihatnya di foto itu saja.
"Tinggallah dengan saya. Saya akan membuatmu tersenyum. Selalu."
Tubuh Jiho mendadak kaku. Aura di sekitar Jiho berubah mencekam. Kaki yang tadinya kehilangan daya, dipaksa dengan kuat oleh Jiho untuk bergerak.
Tanpa menoleh ke arah sumber suara, Jiho terus berlari. Jiho ingat, seluruh kamar yang ada di rumah itu terkunci. Satu-satunya kamar yang dapat dijadikan Jiho sebagai tempat pelarian hanyalah kamarnya sendiri yang terletak di lantai dua. Alhasil, Jiho berlari ke arah tangga. Menaikinya dengan langkah tergesa. Saat ini, Jiho benar-benar tidak dapat berpikir dengan jernih. Padahal segala rencana telah diaturnya dengan begitu mulus. Bahkan untuk segala bahaya yang mungkin saja terjadi, Jiho telah memikirkan solusinya terlebih dahulu. Namun karena fokusnya terus terganggu dengan berbagai kenangan familier yang terus merasuki pikirannya, Jiho jadi merasa sulit untuk berpikir.
Tubuh Jiho langsung limbung kala seseorang itu berhasil meraih pundaknya. Karena sudah terlanjur tertangkap, Jiho harus memanfaatkan keadaan saat ini dengan baik.
Jiho menjatuhkan tubuhnya, ia bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Sepatu pantofel berwarna hitam, serta celana dengan warna yang sama merupakan hal yang harus diingat Jiho. Jiho memejamkan mata, mencoba mengingat kembali suara yang sempat didengar tadi.
"Kamu pasti sedih. Ayo, ikut dengan saya."
Perlahan, Jiho mendongak. Segala proses dalam pikiran yang seharusnya dijalankan dengan baik malah terhenti kala netranya melihat langsung seseorang yang terus mengawasinya selama ini. Seketika, Jiho berharap bahwa kejahatan yang telah diperbuat oleh seseorang yang kini berlutut di hadapannya hanya sebatas menguntitnya saja. Hanya sebatas itu. Jiho rasa, jika hanya sebatas itu, Jiho mampu menghadapinya seorang diri.
"Keadaannya sudah begini. Dari dulu, kamu selalu membuat saya tergila-gila. Senyuman kamu, wajah kamu, semua yang pernah saya lihat di tubuh kamu ... satu hal pun itu, tidak ada yang dapat saya lupakan."
Mengerikan!
"Bagaimana bisa ... bagaimana bisa Anda ...," Jiho bergidik. Membayangkan bahwa tubuhnya telah dijamah oleh manusia hina seperti itu ... benar-benar membuat rasa benci yang dirasakan kian menggunung. "Apa Arin tahu?" Tatapan Jiho berubah tajam. Nada suaranya pun terdengar amat dingin. "Apa Arin tahu bahwa sosok yang dipanggilnya Papa adalah manusia hina seperti Anda?"
Pria dengan setelan jas berwarna hitam itu tertawa. Suara tawanya terdengar cukup nyaring, dan seolah menggema dalam rumah tersebut.
"Sepertinya, Anda sama sekali tidak peduli dengan perasaan Arin." Jiho perlahan berdiri. Kira-kira, apa yang akan dirasakan Arin jika mengetahui bahwa sosok papa yang diperkenalkan dengan bangga pada Jiho tempo lalu, memiliki sisi yang hina seperti ini?
"Arin sangat menyayangi kamu. Arin selalu mengkhawatirkan kamu, sama seperti dia khawatir sama mamanya," ujar pria itu. "Arin pasti senang kalau saya bisa menempatkan kamu di sisi Arin."
Jiho tahu, bahwa dengan memaki pun, rasa amarahnya sama sekali tidak akan berkurang. Karena itu, Jiho mencoba mengambil kesempatan. Jiho menendang tulang kering pria di hadapannya itu, lalu meninju rahangnya hingga menimbulkan suara yang terdengar cukup kuat. "Kenapa ... kenapa Anda melakukan itu pada saya?"
Napas Jiho memburu. Tatapannya yang tajam pun mulai kehilangan fokus.
"Untuk seorang perempuan yang biasanya sakit-sakitan, tenaga yang kamu keluarkan lumayan juga," ucapnya. "Jangan lupa, segala informasi tentang kamu, termasuk masa lalu ... semuanya saya tau. Arin adalah sumber informasi terbaik yang pernah ada."
Jiho berdecih. Melihat adanya pergerakan dari pria itu, tanpa sadar Jiho memundurkan langkah—berusaha menghindar sebisa mungkin.
"Saya juga tau, kamu sempat belajar bela diri. Karena itu, saya sudah mempersiapkan dengan baik ...,"
Seketika, tubuh Jiho yang sempat menegang lambat laun terasa lemas. Seluruh tubuh Jiho seolah kehilangan daya kala papanya Arin menyuntikkan sesuatu ke lengan Jiho. Kendati demikian, ini bukan saat yang tepat untuk menyerah. Jiho tidak ingin kejadian serupa terulang kembali.
"Berengsek ...." Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Jiho mendorong tubuh yang hendak memeluknya. Lalu, Jiho sengaja mundur, meski tahu bahwa saat ini ia berdiri di bagian ujung tangga. Dibandingkan harus mengalami hal serupa untuk yang kedua kalinya, Jiho lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan begitu, rasa takut serta berbagai trauma yang dirasakan tidak akan menggerogoti Jiho lagi. Orang-orang yang selama ini harus kerepotan merawatnya pun bisa menjalani hidup dengan nyaman tanpa harus memikirkannya. Namun kala tubuhnya terus terguling di anak tangga, Jiho tiba-tiba teringat bahwa janin yang ada di kandungannya saat ini, merupakan alasan mengapa Jiho harus bertahan. Bagaimana bisa Jiho melupakan sosok yang lebih berharga, dibandingkan nyawanya sendiri? Harusnya, Jiho lebih hati-hati lagi. Harusnya, Jiho tidak mengambil keputusan dengan gegabah.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Jiho berharap ia dapat mempertahankan kesadarannya. Dengan begitu, Jiho mungkin saja bisa mempertahankan janin yang selama ini selalu dijaga olehnya.
Namun sepertinya, harapan sederhana yang seperti itu merupakan hal yang berlebihan bagi Jiho.
"Papa, Mama, Juno ... Jiho rindu kalian ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)
FanficSetelah kejadian yang dialami Jiho tiga tahun lalu, Jiho memiliki tekad kuat untuk meninggalkan dunia yang kian terasa memuakkan. Akan tetapi tekad Jiho perlahan goyah tiap kali Jiho dihadapkan dengan berbagai hal yang membuat Jiho mau tak mau haru...