Tidak seperti biasanya, pagi ini Jiho terbangun dengan kondisi tubuh yang terasa cukup bugar. Rasa mual, dan juga sakit kepala yang biasanya menyerang sama sekali tidak dirasakan oleh Jiho.
Usai menyibak selimut, Jiho bergegas beranjak dari tempat tidur. Kala suara knop pintu kamarnya terdengar, ia menoleh.
"Kak Jiho, cepat keluar. Juno udah laper banget dari tadi."
Jiho sempat mematung. Melihat sosok anak kecil yang wajahnya nyaris dilupakan oleh Jiho, kini tengah berlari ke arah Jiho. Tangannya yang kecil menarik Jiho. Meski anak kecil itu mengerahkan seluruh tenaga, ia masih tidak mampu menyeret Jiho untuk keluar dari kamar.
"Kak Jiho!"
"Kamu ... Juno?" Jiho merundukkan tubuh. Tangannya ia tempatkan ke pundak anak kecil itu. Jiho dapat menyentuhnya. Itu berarti ....
"Iyalah! Aku Juno. Satu-satunya adik Kakak," sahutnya dengan suara yang cukup lantang. "Ayo!"
Tanpa sadar, Jiho mengikuti langkah Juno. Seraya berjalan, Jiho terus memikirkan tentang situasi yang dialami oleh Jiho saat ini.
Jiho ingat betul, bahwa tadi ia terjatuh dari tangga demi menghindari papanya Arin. Dan setelah beberapa saat, Jiho yakin bahwa kesadarannya mulai hilang. Namun saat ini, Jiho malah terbangun dengan kondisi tubuh yang baik-baik saja. Di rumahnya, serta disambut oleh Juno, adik yang sudah lama tidak dapat dilihat Jiho.
"Kok tumben bangunnya telat?"
Langkah Jiho spontan terhenti. Dan dengan cepat pula, Jiho menoleh ke sumber suara. Di ruang makan, Jiho menyaksikan dengan jelas keberadaan orang tuanya. Papa yang baru saja bertanya pada Jiho, serta Mama yang tengah merentangkan tangan untuknya.
"Kamu ga mau peluk Mama?"
Tanpa sadar, Jiho langsung berlari ke arah sang Mama. Bahkan pegangan Juno pun dilepas Jiho.
Jiho menubrukkan tubuhnya ke dalam pelukan Mama. Jiho dapat menyentuh Mama. Jiho juga merasakan perasaan nyaman yang sudah cukup lama tidak dirasakan. Semua itu benar-benar nyata. Lalu, apa artinya hidup Jiho telah berakhir saat Jiho terjatuh dari tangga itu?
"Kak Jiho udah gede, masih aja manja begitu," cibir Juno.
Masih dalam pelukan Mama, Jiho menoleh menatap Juno. Jiho memperhatikan tubuh Juno yang tidak berubah sedikit pun. Juno tampak seperti anak-anak pada kebiasaannya. Hal itu membuat Jiho semakin yakin bahwa hidupnya memang telah berakhir.
Jiho melepas pelukannya pada Mama lalu beranjak menghampiri Juno yang hendak duduk di kursi meja makan. Jiho merunduk demi menyamakan tinggi tubuhnya dengan Juno. Lalu, dipeluknya tubuh Juno dengan erat. "Rupanya, kamu masih aja gemesin. Kalau kamu gede, pasti bakalan banyak perempuan yang suka sama satu-satunya adik Kakak ini," ujar Jiho.
"Jelaslah!" balas Juno dengan begitu congkak.
Jiho tertawa. Tangannya kemudian bergerak mengacak rambut Juno yang telah tertata rapi.
"Jiho, Juno. Nanti lagi ngobrolnya. Sekarang sarapan dulu, ayo," ucap Papa.
Jiho maupun Juno langsung menurut. Berbeda dengan Juno yang langsung melahap makanannya, Jiho hanya fokus memperhatikan Papa, Mama, dan Juno secara bergantian. Bahkan jika ini mimpi, sampai kapanpun Jiho tidak ingin terbangun dari tidurnya.
"Kamu kenapa ngeliatin Papa sama Mama terus?" tanya Papa.
"Iya, nih. Kakak juga terus liatin Juno dari tadi," timpal Juno.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)
FanficSetelah kejadian yang dialami Jiho tiga tahun lalu, Jiho memiliki tekad kuat untuk meninggalkan dunia yang kian terasa memuakkan. Akan tetapi tekad Jiho perlahan goyah tiap kali Jiho dihadapkan dengan berbagai hal yang membuat Jiho mau tak mau haru...