Sewaktu menyadari bahwa hidupnya masih akan berlanjut, Jiho merasa bahwa secercah cahaya yang hendak menghampiri malah pergi menjauhinya.
Jika bukan karena janin yang ada di dalam kandungan, Jiho tidak akan memperhatikan kesehatan diri. Jiho tidak akan bersusah payah bertahan hidup.
Setelah mengetahui bahwa janin yang ada dalam kandungan Jiho tidak terselamatkan, Jiho merasa, tidak ada lagi alasan bagi Jiho untuk mempertahankan kehidupan yang amat menyesakkan.
Sebenarnya, Jiho merasakan perasaan sesal yang amat mendalam. Jiho juga merasa bersalah karena tidak dapat melindungi janinnya sendiri. Selain itu, Jiho juga mulai sadar bahwa tiap kali Jiho menyayangi sesuatu, maka Jiho akan kehilangan sesuatu tersebut.
Kehilangan merupakan hal yang sudah dialami Jiho sejak kecil. Jiho telah kehilangan Papa dan Juno, adiknya. Tiga tahun yang lalu juga Jiho kehilangan Mama. Terakhir, Jiho juga kehilangan anaknya sendiri.
Selain itu, Jiho menganggap bahwa sosoknya yang asli begitu mengerikan. Bagaimana bisa ia membuat orang yang disayangi selalu berakhir dengan tragis?
Andai Jiho tetap dekat dengan orang-orang yang disayanginya, akankah mereka akan tetap baik-baik saja? Lebih dari apapun, dibandingkan harus kehilangan orang yang disayangi Jiho lagi, Jiho lebih memilih untuk mengasingkan diri. Menjauh dari orang-orang yang menyayangi dan terus memberikan perhatian lebih untuk Jiho. Terlebih lagi, bukankah dengan mengakhiri hidupnya dapat membuat mimpi buruk yang saat ini dialami akan berakhir dengan tuntas?
"Saya bisa pulang sendiri."
Jiho mengambil kembali tas yang baru saja dipegang Jaehyun.
Setelah kejadian malam itu, bukannya menjauh, Jaehyun malah semakin terus melekat pada Jiho. Jiho telah mencoba segala cara untuk mengusir Jaehyun dari sisinya, namun berkat dukungan dari orang-orang di sekitar Jiho, Jaehyun malah semakin gencar mendekat.
"Tante Aeri udah kirim alamat rumah kamu. Mau pulang naik taksi, motor, bis, atau apa? Demi kamu, apapun bisa aku turutin," ucap Jaehyun.
Sayangnya, semenjak kejadian malam itu, Jiho tidak pernah lagi melihat senyuman Jaehyun. Bahkan senyuman konyol yang terkadang dipamerkan pada Jiho, hingga hari ini tidak dilihat Jiho.
"Saya tidak butuh tum—"
Ucapan Jiho langsung terhenti sewaktu Jaehyun tiba-tiba saja menggendong tubuhnya. Jiho memelotot pada Jaehyun. "Apa yang Anda lakukan?!"
"Kamu punya banyak alasan buat nolak tawaran aku," ujar Jaehyun. "Tapi soal alasan kenapa benci aku, sampe hari ini kamu ga bisa jawab."
Tanpa memperdulikan respons Jiho, Jaehyun beranjak keluar dari ruang rawat inap VIP itu.
"Tas saya—"
"Sekarang yang kamu pedulikan cuma tas?" Jaehyun berhenti seraya menatap Jiho yang tengah digendongnya. "Aku bisa minta bantuan Dokter Suho buat bawa pulang tas itu," kata Jaehyun. "Enak ya jadi tas, dipeduliin sama kamu."
Harusnya disaat seperti itu, Jaehyun tersenyum mencemooh padanya. Akan tetapi, raut wajah Jaehyun masih sama. Datar. Sangat datar. Bahkan tiap kalimat yang dilontarkan pun terdengar cukup dingin.
"Turunkan saya."
Jaehyun sama sekali tidak acuh. Lelaki itu terus melanjutkan langkah lalu membuka pintu ruang rawat inap tersebut. Untuk sesaat, langkah Jaehyun sempat terhenti karena melihat keberadaan Om Yejun dan Taeyong di sana. Well, Jaehyun tidak masalah jika hanya ada Taeyong di sana. Tapi, kenapa Om Yejun harus ada juga? Tiap kali berhadapan dengan Om Yejun, rasa sakit yang sempat dirasakan rahangnya seakan kembali menyapa. Terlebih lagi, Jaehyun dapat merasakan tatapan liar bagai harimau yang kelaparan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)
FanfictionSetelah kejadian yang dialami Jiho tiga tahun lalu, Jiho memiliki tekad kuat untuk meninggalkan dunia yang kian terasa memuakkan. Akan tetapi tekad Jiho perlahan goyah tiap kali Jiho dihadapkan dengan berbagai hal yang membuat Jiho mau tak mau haru...