+1

77 8 2
                                    

Langit yang kelabu, serta gemuruh yang sesekali terdengar ... dua hal itu bagaikan produk yang dijual one plus one.

Iya. Beli satu, gratis satu.

Sama halnya dengan roti yang hampir mendekati tanggal kadaluwarsa yang dibeli Suyeon.

"Harusnya kalau mendung, cukup mendung aja. Jangan ada suara-suara yang bikin hati ini ketar-ketir."

Tidak, itu bukan Suyeon. Melainkan Sumin.

Dibandingkan Suyeon yang lebih memilih mengeluarkan segala keluh-kesah di dalam pikiran, Sumin lebih ekspresif. Intinya, selagi Sumin dalam keadaan sehat, Sumin akan menyuarakan segala hal yang mengusik perasaan Sumin.

Di tengah-tengah keluh-kesah Sumin, Hyeonsu tiba-tiba saja muncul. Hanya dengan handuk abu-abu gelap yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Mama! Kak Hyeonsu handukan doang!" Sumin, si tukang adu.

Berbeda dengan Sumin, Suyeon langsung membuka bungkus roti yang tidak lagi ada isinya itu. Berpura-pura mengeluarkan isi mulut Suyeon di sana, lalu menatap Hyeonsu dengan ujung mata.

Akan tetapi, Hyeonsu malah memamerkan senyumannya yang tampak tengil. Sembari memamerkan otot biseps yang tidak seberapa itu, Hyeonsu berujar, "Lihat! Keren, 'kan?"

"Keren dari mananya?" Jiho, sang Mama yang mendadak muncul langsung meletakkan kain ke atas kepala Hyeonsu. "Laki-laki yang suka pamer itu sama sekali tidak keren, Hyeonsu."

Bagaikan anak ayam yang selalu mengekori induknya, Hyeonsu segera menutupi bagian atas tubuh yang terpampang dengan kain tersebut. Pemuda itu tersenyum canggung, lalu memelototi Sumin sewaktu perhatian Mama teralihkan dengan hal lain. Ini semua gara-gara Sumin si tukang adu itu!

"Tunggu apa lagi? Sana pakai bajumu."

"Siap, Mama!"

Hyeonsu langsung bergegas. Jika itu perintah dari Mama, sedetik pun Hyeonsu tidak akan menunda.

"Anak itu, nurut banget, ya, sama mamanya."

Baik Sumin maupun Suyeon, hanya melirik sekilas ke arah papa mereka yang datang dengan memegang gelas.

"Bukannya dengan Anda juga begitu?" Jiho merespons seraya mengambil alih gelas yang dipegang sang suami, Jung Jaehyun. Lalu, Jiho meletakkan gelas kosong tersebut ke meja. Tepat di hadapan Sumin duduk saat ini.

Melihat ada bungkus roti di meja, Jiho berinisiatif mengambilnya. Dalam detik itu juga, Jiho langsung menghela napas. "Suyeon, Mama udah bilang, 'kan? Kalau mau beli sesuatu itu, lihat dulu tanggal kadaluwarsanya," ucap Jiho. "Apa susahnya, sih, Nak?"

Diam-diam, dari balik bawah meja, Suyeon menendang Sumin.

Bahkan tanpa harus Suyeon menoleh pada Sumin, Sumin sudah tahu bahwa itu merupakan sinyal SOS dari kembarannya.

"Suyeon pasti lupa, Ma. Kalau ingat, mana mungkin Suyeon beli roti itu," celetuk Sumin.

Jaehyun yang juga ada di sana, hanya sekadar menonton saja. Pria itu langsung duduk di sofa, menyandarkan punggungnya yang terasa pegal, lalu mengambil satu roti yang belum dimakan Suyeon.

Jiho langsung memelototi Jaehyun. Tidak anak, tidak suami ... keduanya sama saja!

"Biar Suyeon ga sakit perut, Ma. Jadi biar Papa aja yang makan sisanya," ujar Jaehyun sembari membuka bungkus roti itu. "Kamu juga, Suyeon, udah berapa kali Papa ingetin supaya lebih teliti lagi pas mau jajan? Kalau kamu begini terus, kamu juga yang bakalan ngerasain akibatnya."

"Tapi 'kan masih belum. Masih ada lima belas hari lagi, Pa. Jadi ga masalah kalau dimakan," ucap Suyeon.

"Ya, lima belas hari." Jiho menatap putri bungsunya itu dengan tatapan dingin. "Tapi apa kamu lupa? Di rumah ini, siapa yang paling hobi simpan makanan sampai berbulan-bulan? Ini bagus karena rotinya langsung kamu makan. Tapi andai kamu simpan, terus kamu lupa, yang sakit nanti siapa? Kamu pikir, Mama ga tau kebiasaan kamu selama lima belas tahun kamu hidup sebagai anak Mama?"

HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang