9

5.8K 594 9
                                    

"Anda kelihatan seperti mau belajar sejarah dasar saja," komentar Vena saat ia melangkah masuk ke perpustakaan pribadi milik Sayre yang letaknya tepat di sebelah kamar lelaki itu.

Sayre yang sudah mengenakan piyama hitam model kimono dengan sulaman emas di bagian kerahnya menoleh kepada Vena. Rambut hitam tebalnya dibiarkan jatuh menjuntai di kening, kelihatan sedikit berantakan tetapi masih membingkai ketampanannya yang maskulin itu. Di tangannya, ada rokok linting yang sudah tersisa setengah saja. Sayre buru-buru mematikannya saat melihat wajah Vena.

Ia duduk di sebuah sofa yang di depannya ada meja dengan buku tertumpuk di sana, dan sofa lain di seberang meja. Sofa itu juga berwarna hitam, sama seperti di ruang tamu Sayre. Vena menyadari jika keseluruhan rumah Sayre ini didominasi warna membosankan seperti hitam, putih dan abu-abu. Tidak heran sih, melihat kepribadian Sayre yang membosankan itu.

Matanya mengamati Sayre yang mematikan rokok lintingnya di asbak keramik yang ada di atas meja. Karena mengenakan kemeja bermodel kimono, Vena jadi bisa melihat dada berototnya. Lelaki itu bahkan punya belahan dada saking besar ototnya. Tangannya yang kapalan dan berurat juga membuat Vena hampir mengernyit. Harry juga punya badan besar, tetapi Sayre bahkan lebih besar lagi.

"Duduk," suruhnya.

Vena melangkah menuju sofa, duduk di sana dengan wajah datar. Matanya kembali terarah kepada Sayre yang menatapnya lekat. Vena mengenakan gaun tidurnya yang berlengan panjang. Tidak terlalu tipis, tetapi sebenarnya tidak aman juga hanya mengenakan gaun tidur di depan laki-laki.

"Saya sudah menerima laporan dari tabib yang memeriksa Anda," ujar Vena membuka pembicaraan. "Saya pikir, kita harus mulai melakukan sesuatu dengan trauma karena perang yang Anda alami itu."

Tidak ada sahutan. Sayre asyik memandangi Vena dengan wajah datar. Melihat Sayre yang malah fokus menatapnya, Vena mengerutkan kening.

"Ada apa? Kenapa menatap saya begitu?" tanya Vena.

"Anda bersikap seenaknya di depan saya, tetapi masih bicara dengan formal," komentar Sayre. "Saya merasa, tindakan Anda menimbulkan kontradiksi."

"Saya hanya bicara sebagaimana Anda bicara kepada saya," balas Vena santai.

"Jadi, jika aku bicara seperti ini kepadamu, kau akan bicara seperti ini juga?"

"Tentu saja."

Sayre menghela napas. Ya, Vena adalah tipikal yang memperlakukan orang lain sebagaimana orang lain memperlakukannya.

"Kembali ke pokok permasalahan kita, Yang Mulia-"

"Kau bisa memanggilku Sayre saat hanya ada kita saja. Selain itu, panggillah aku dengan gelarku," kata Sayre.

"Baiklah, Sayre," balas Vena tanpa ragu. "Walau kau lebih tua dariku, aku akan memperlakukanmu selayaknya aku memperlakukan muridku. Yah, walau aku tak punya murid, tapi bukan itu poin pentingnya. Jadi, apa kau mengalami tidur berjalan?"

"Ah." Sayre bersandar di sofanya dengan tatapan kosong. "Itu terjadi beberapa kali, tetapi aku sudah tidak mengalaminya lagi, kecuali insomnia yang masih mengganggu."

Vena mengangguk. "Yah, mereka yang pulang dari berperang pasti mengalami hal itu. Apa kau kadang merasa cemas? Atau panik? Atau hal lain?"

"Aku hanya merasa harus terjaga karena terbiasa waspada," jawab Sayre pelan.

"Kalau begitu, aku harus menemukan cara membuatmu rileks tanpa obat. Mungkin dengan membaca?" gumam Vena sambil mengerutkan kening. "Apa kau memikirkan permaisuri saat tidak bisa tidur?"

"Permaisuri? Apa hubungannya denganku?" balas Sayre bingung.

"Bukankah ia perempuan yang kau cintai?"

The Love CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang