31

8.4K 577 24
                                    

Vena mengomel pelan sambil merobek surat lamaran yang dikirimkan dari Utara untuknya. Salah satu bangsawan yang mendiami wilayah itu ingin mempersuntingnya menjadi istri. Masalahnya, bangsawan yang mempersuntingnya itu sudah tua, botak, sama sekali tidak tampan dan pendek! Jelas saja Vena langsung kesal dan membuang robekan suratnya ke tong sampah.

"Ah, laki-laki tua itu benar-benar tidak tahu diri! Haruskah kuracuni saja air di rumahnya?" omel Vena seraya membuka amplop surat yang lain. "Hei, kalau bangkotan ini mengirimkan surat lagi, pastikan kau yang memeriksanya lebih dulu! Berikan padaku jika ia meminta sesuatu yang penting dan langsung bakar suratnya jika ia mengirim lamaran lagi."

Vena menatap Emily yang memasang wajah masam. Perempuan itu menuangkan secangkir teh putih ke cangkir Vena, mencampurkan ramuan kontrasepsi ke dalam tehnya seperti takaran yang diminta oleh Vena juga. Seperti biasanya, Vena kembali sibuk mengurusi pengiriman barang ke beberapa lokasi. Namun, yang membuat Emily masam adalah sosok Sayre yang terus datang selama tiga hari ini, menunggu di ruang tunggu tertutup supaya tidak ada yang melihatnya atas perintah Vena.

Sayre tidak mengganggu pekerjaan mereka, atau mengamuk memaksa dipertemukan dengan Vena. Namun, setiap hari, saat Emily keluar dari ruangan Vena, ia akan menanyakan apa yang sedang dilakukan Vena. Tidak hanya itu, beberapa pegawai lain yang menyadari kedatangan Sayre mulai sibuk bertanya pada Emily apa yang sedang terjadi.

Emily niatnya ingin bergosip dan memberitahu semua orang yang ia ketahui, tetapi Vena sudah mengeluarkan ultimatum akan memotong gajinya jika ia berani mengatakan omong kosong yang sebenarnya bukan omong kosong karena kenyataannya demikian. Jadinya, Emily hanya bisa menggeleng dengan senyum masam saat ditanyai. Selain itu juga, Emily merasa seperti terperangkap dalam pertengkaran suami istri, walau mereka bukan suami istri, tetapi Emily tahu Vena akan menjadikan Sayre sebagai miliknya entah apa pun status mereka nanti.

"Ketua, apa yang akan kau lakukan pada Duke Hawthorne?" tanya Emily datar dengan wajah lelah. "Ia sudah datang ke sini selama tiga hari berturut, menunggumu keluar dari ruanganmu dan mengikutimu sampai ke rumahmu. Ia sudah seperti penguntit yang tidak ada kerjaan saja karenamu!"

"Aku tidak memintanya mengikutiku," balas Vena sambil meneguk tehnya dan tersenyum tipis.

Cih! Iya, Vena memang tidak meminta, tetapi ia kelihatan senang. Perempuan itu sepertinya sengaja sekali menyiksa Duke Hawthorne yang malang itu! Emily sampai tidak tega melihatnya yang kelihatan tertekan dan gelisah karena diabaikan oleh Vena.

"Tapi, tetap saja! Apa tidak apa-apa memperlakukannya seperti ini? Bagaimanapun, ia itu seorang duke!" ketus Emily jengkel.

Vena meneguk tehnya lagi, menatap Emily dengan senyum manis, tetapi matanya berkilat mengancam. "Makanya, aku memintamu untuk tutup mulut dan membiarkannya menunggu di ruang tunggu tertutup khusus VIP."

Vena tidak berniat mempermalukan Sayre. Makanya ia sangat berhati-hati dengan setiap langkahnya. Hanya Emily yang tahu sedikit cerita yang terjadi di antara mereka, tetapi Vena dengan kekuasaannya menahan Emily supaya tidak bicara omong kosong. Jelas, Emily akan menurut karena takut dipecat.

Sisanya, Vena hanya mencoba menekan Sayre supaya ia menyesali perbuatannya. Sekalian, melampiaskan sedikit kekesalannya karena Sayre membuatnya tidak bisa berjalan seharian. Tubuh Vena baru membaik keesokan harinya setelah minum ramuan pereda nyeri yang ia miliki.

"Ngomong-ngomong, apa ada jadwal yang harus kulakukan hari ini?" tanya Vena.

"Pekerjaanmu sudah beres untuk hari ini."

Vena mengangguk, melirik jam kayu di dindingnya dengan wajah datar. Ia sudah membuat Sayre hidup di neraka selama tiga hari ini. Mungkin, ia akan melembut padanya sedikit? Vena tersenyum miring sambil meletakkan cangkirnya ke meja. Sementara, Emily hanya bisa mempersiapkan diri untuk apa pun yang Vena minta karena ia tahu Vena akan melakukan sesuatu yang aneh lagi.

"Kalian bisa pulang lebih awal hari ini. Mungkin, sekitar pukul setengah empat?" ujar Vena membuat Emily melebarkan matanya terkejut.

"Benarkah?" tanya Emily tak percaya, tapi antusias.

"Mhm." Perempuan itu bergumam, melirik Emily lagi. "Oh, apa kau sudah mengirimkan yang kuminta ke rumahku?"

Emily membulatkan matanya bingung mendengar pertanyaan Vena, tetapi kemudian menyadari jika yang Vena maksud adalah setelan pakaian tidur tipis, lengkap dengan pakaian dalam yang ukurannya terlalu besar untuk Vena. Daripada dikenakan oleh Vena, sepertinya itu lebih cocok dikenakan oleh perempuan obesitas ... oh? Emily mengerutkan dahinya.

"Ya, sudah," kata Emily. "Tapi, siapa yang akan mengenakannya? Itu bukan ukuranmu."

Emily menatap Vena lekat, menunggu jawabannya dengan penasaran. Semoga saja Vena tidak menjawabnya dengan sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal. Atau, sesuatu yang mesum. Sayangnya, harapan Emily harus pupus. Vena kembali menyeringai miring dengan kilat jenaka melintas di matanya.

"Kau tahu siapa," jawab Vena dengan nada ringan membuat Emily bergidik. "Persilakan Duke Hawthorne masuk ke ruanganku saat kalian semua sudah pulang."

Emily tidak ingin tahu sebrutal apa Vena memperlakukan Sayre. Yang jelas, apa pun itu, lelaki malang itu sudah kepalang masuk terlalu dalam di jebakan Vena. Kasihan sekali Sayre Hawthorne yang perkasa itu. Bagaimana bisa seorang duke yang menyatukan seluruh kekaisaran menjadi anjing peliharaan di hadapan Vena? Perempuan itu pasti penyihir yang merusak pola pikir manusia lain!

Tak mau bertanya lagi, Emily memilih untuk mengatupkan mulut dan segera keluar dan melaksanakan tugasnya.

Seperti yang diminta Vena, semua pegawai serikat dagang pulang lebih awal hari itu. Saat kantor sudah kosong dan hanya tersisa Vena dan Sayre saja, Sayre memutuskan untuk menerobos masuk ke dalam ruangan Vena. Ia melihat Vena yang duduk di atas mejanya dengan kaki bersilang, kelihatan memang sedang menunggu Sayre. Melihat tatapan Vena, Sayre langsung merasakan hatinya sesak. Ia terdiam di depan pintu yang tertutup, menatap Vena dengan mata berkaca-kaca.

"Vena," panggil Sayre pelan.

"Kau keras kepala juga." Vena tersenyum, menatap mata Sayre lekat. "Mau apa kau denganku?"

Sayre terdiam. Emosinya yang berkecamuk memaksa keluar, tidak tahu mana yang harus dikeluarkan lebih dulu. Namun, Sayre akhirnya malah menangis sambil melangkah mendekati Vena dan berlutut di hadapannya. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Vena yang duduk di atas meja dengan wajah bercucuran air mata.

"Aku tidak akan mengulanginya, Vena," tangis Sayre, merengek kepada Vena tanpa peduli lagi tentang harga dirinya. "Jangan lakukan ini padaku. Aku tidak sanggup menerimanya."

Dari awal, Vena memang tidak marah kepada Sayre. Melihatnya yang menangis seperti ini, membuat Vena langsung luluh. Tangan Sayre yang menggenggamnya erat bergetar halus. Sementara, matanya menyorot sedih dan terluka. Vena jadi tidak tega, tetapi ia tetap harus memastikan jika Sayre tidak akan mengulangi perbuatannya.

"Aku tidak akan memaafkanmu semudah itu," kata Vena menahan senyumnya, mengamati wajah Sayre yang ketakutan.

Genggaman Sayre semakin mengerat saat Vena mencoba melepaskannya. Namun, pada akhirnya, Vena berhasil melepaskan genggaman sayre, membuat lelaki itu menatapnya terluka. Sebelum Sayre sempat bereaksi lagi, Vena memutuskan turun dari mejanya dan mengelus wajah Sayre yang basah dengan lembut.

Lihatlah anjing yang menggigitnya kemarin, kembali jinak lagi.

Vena tersenyum tipis, memberi kecupan lama di kening Sayre yang membuat lelaki itu berhenti menangis. Walau begitu, wajahnya masih basah oleh air mata. Vena melepaskan bibirnya dari kening Sayre, menghapus air matanya dan menatap mata hijaunya yang masih basah.

"Datanglah ke rumahku malam ini. Biar kuputuskan, apa yang harus kulakukan padamu," ujar Vena sambil tersenyum dan menjauhi Sayre. "Oh, dan pastikan, tidak ada seorang pun yang melihatmu datang ke rumahku."

The Love CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang