30

7.1K 552 53
                                    

Vena membuka matanya saat mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam kamarnya. Tirai kamarnya dibuka oleh seseorang yang masuk ke dalam kamarnya, membuat cahaya matahari langsung menerobos masuk ke dalam kamarnya.

"Ketua, apa kau tahu sudah pukul berapa sekarang-" Ucapannya terputus, sementara Vena menggeliat di ranjangnya sambil membuka satu mata dengan malas-malasan. "Ya Tuhan! Ketua! Apa yang terjadi padamu?"

Teriakan melengking dari Emily, pelaku yang masuk ke dalam kamar Vena dan membangunkannya membuat Vena membuka kedua matanya dengan malas. Masih dalam posisi berbaring, Vena mengusap matanya sambil mengerang.

"Kenapa kau berisik sekali pagi-pagi begini?" omel Vena parau, berguling ke samping sambil menarik selimutnya yang entah bagaimana sudah berada di mata kakinya. Vena memeluk bantal dan memejamkan matanya lagi. "Badanku sangat sakit, biarkan aku tidur sepuluh menit lagi."

"Sekarang sudah pukul sebelas, Ketua! Kau sudah sangat terlambat hari ini!" pekik Emily, mendekat kepada Vena sambil menarik selimut yang digunakan Vena. "Dan, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tidur telanjang, oh tidak! Ada apa dengan semua bekas di tubuhmu itu?"

Vena berbaring telentang, membiarkan Emily menatap tubuhnya dengan kening berkerut. Perempuan itu biasanya selalu tidur dengan gaun tidur cantik berbahan lembut. Namun, pagi ini, Emily mendapati Vena dalam keadaan telanjang bulat, dengan berbagai bekas merah dan ungu dari leher sampai paha yang hampir ada di setiap jengkal tubuhnya. Rambut sebahu Vena berantakan, begitu pula dengan ranjangnya. Emily juga melihat sedikit bercak darah. Sedikit sekali, tetapi itu membuatnya semakin bergidik.

"Ketua, katakan yang sejujurnya! Apa kau memanggil gigolo untuk melayanimu semalam karena kau sudah tidak tahan jadi perawan?" tanya Emily membuat Vena melotot kepadanya.

"Kau mau kupecat?" sahut Vena membuat Emily memasang senyum lebar tanpa rasa bersalah.

Bagaimana Emily tidak berpikir jika Vena memanggil gigolo jika sehari-harinya, sikap ketuanya itu sangat mesum, bahkan tidak ada yang bisa mengalahkan otak kotornya itu? Vena memang selalu bersikap normal dan tidak pernah bertingkah aneh, tetapi sekalinya membuka mulut, bahkan ia bisa membuat putra mahkota kerajaan Barat tersipu malu mendengar betapa vulgar ucapannya. Tidak salah, 'kan, kalau Emily menyangka Vena akhirnya mencapai batas akhir kegilaannya?

Vena hanya mendengkus melihat ekspresi Emily, menyibat selimutnya ke samping dan mencoba untuk duduk. namun, perempuan itu langsung mengerang kesakitan begitu mencoba untuk duduk.

"Ah!" ringis Vena, mengepalkan tangannya di depan selangkangannya. "Sialan, perih sekali!"

Kalau kondisi tubuh Vena sampai seperti ini, maka Sayre memang pantas menerima hukuman darinya. Vena meringis lagi sambil mengomel dalam hati. Ia akan membuat Sayre tidak berani mengulangi hal semacam ini lagi. Laki-laki itu harus dididik dengan keras.

Sial, kenapa sakit begini? Vena yakin, ia masih bisa bangun untuk membersihkan tubuhnya walau sedikit terseok setelah berhasil mengusir Sayre yang menangis dengan ancaman tidak akan berurusan dengan Sayre lagi jika ia tak segera pergi. Kenapa begitu didiamkan semalam, tubuhnya langsung kaku seperti ini?

Melihat Vena yang meringis kesakitan, Emily langsung maju mundur dengan wajah antara bingung dan ngeri. Bingung karena bertanya-tanya apa yang Vena lakukan sampai ia bisa kesakitan begini dan ngeri, menyadari jika ketuanya memang gila.

"Apa kau bisa bangun? Haruskah aku mengambil obat? Obat apa yang harus kuberikan padamu?" tanya Emily bertubi-tubi, menatap Vena yang masih meringis pelan.

Vena kini gantian menyentuh paha teratasnya. Vena merasa seperti habis mengikuti latihan fisik berat yang terlalu berlebihan untuk otot-ototnya sampai ia kesakitan saat bangun. Rasanya persis seperti itu. Ia menghela napas, mengusap pinggangnya pelan sambil meringis.

The Love CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang