10

6.8K 597 15
                                    

Udara di luar terasa dingin. Langitnya gelap, tidak begitu cerah karena tak ada bintang dan bulan yang muncul malam ini. Kamar Sayre terasa lebih gelap karena tak ada cahaya bulan. Lelaki itu bersandar di kepala ranjang sambil membaca sebuah novel berjudul Cinta Pertama Olivia yang dibawakan oleh Vena. Ranjang luasnya dengan seprai berwarna putih dengan sulaman burung rajawali di bagian tengahnya memantulkan cahaya lilin dari nakas yang terletak tepat di samping ranjang.

Sayre berada agak dekat dengan lilin itu supaya ia bisa membaca bukunya dengan lebih jelas. Lilin itu beraroma wangi, seperti bunga lavender dan mungkin ada campuran rempah lainnya, dibawakan oleh Vena dengan tujuan supaya aromanya bisa memberi ketenangan pada Sayre. Walau begitu, Sayre tidak merasa tenang. Ia bergerak sedikit gelisah di atas ranjangnya sambil membalik halaman berikut dari bukunya. Konsentrasinya terpecah.

Bagaimana tidak terpecah kalau ada Vena yang duduk di sofa yang berseberangan dengan ranjangnya. Perempuan itu duduk dengan kaki dilipat, menatap Sayre sambil bersedekap. Di depan sofanya, ada seteko teh krisan dan dua cangkir. Salah satunya masih belum digunakan. Malam ini, Vena mengenakan gaun tidur lengan pendek berwarna pink pucat, dengan rambut diikat sembarangan.

"Kau akan menatapku seperti itu terus?" tanya Sayre, mengarahkan matanya dari buku.

"Aku mengawasimu," jawabnya datar.

"Bagaimana kalau kau buka saja surat dari kaisar yang kubawakan?"

Ucapan Sayre berhasil membuat fokus Vena beralih ke arah amplop putih dengan segel berlambang harimau, lambang Kekaisaran Evrin yang resmi sejak tiga tahun lalu. Wajah Vena langsung masam saat melihat amplop putih itu.

"Tidak usah kubuka juga, aku sudah tahu isinya," gerutunya kesal, tetapi tak punya pilihan selain membuka segel dan melihat isi surat di dalam amplop itu. Tepat seperti dugaannya. "Pesta Perayaan Kekaisaran, huh? Kupikir, istana bukan tempat yang bisa dimasuki sembarangan orang?"

Sayre menurunkan novelnya ke pangkuan, menatap wajah Vena yang tak bisa ia lihat dengan jelas karena cahaya lilin di meja Vena meremang. Namun, ia masih bisa melihat siluet Vena. Ia tak perlu melihat wajah Vena untuk tahu jika perempuan itu sedang memasang wajah jengkel. Suara Vena saja sudah memberi tahu jika ia malas sekali karena diundang ke pesta. Sebenarnya, lebih tepat dipaksa datang, karena undangan resmi kaisar tidak bisa ditolak.

"Kau ketua serikat dagang nomor satu di kekaisaran ini. Bagaimana mungkin itu bisa disebut dengan sembarangan orang?"

Vena melirik ke arah Sayre dengan sinis. Mata hijaunya sedikit berkilau karena cahaya lilin. Setelah tujuh hari berturut-turut ditemani oleh Vena sampai tertidur, lelaki itu bersikap lebih santai kepadanya. Bahkan, Sayre malah menjadi terlalu nyaman. Yang awalnya sangat kaku saat melihat Vena duduk di sofa yang ada di kamarnya, kini menjadi terbiasa dan malah menjadikan teman mengobrolnya jika ia bosan membaca novel yang dibawakan oleh Vena.

"Aku memang perempuan nomor satu yang menguasai perdagangan, tetapi aku bukan bangsawan," sahut Vena, meletakkan suratnya kembali ke atas meja. "Ini akan menyebalkan."

"Memangnya, para bangsawan itu mengganggumu?"

"Ya. Mereka akan memintaku memasok sesuatu untuk wilayah mereka dan itu menyebalkan. Hanya orang-orang yang kumau yang bisa menerima jasaku. Kau termasuk yang cukup beruntung karena Harry yang mengenalkanmu."

Sayre mendengkus pelan, mengamati Vena yang menuangkan teh ke cangkir baru. Perempuan itu berjalan dengan langkah yang sedikit timpang menuju ranjangnya. Kemudian, ia memberikan cangkir itu kepada Sayre saat tiba di hadapannya. Aroma krisan tercium kuat dari teh yang Vena berikan.

"Kakimu masih susah digerakkan?" tanya Sayre, perlahan menyesap teh yang diberikan oleh Vena.

"Masih berfungsi saja sudah membuatku bersyukur," omelnya sambil mendelik pada Sayre. "Kau menyimpan dendam padaku karena aku memarahimu setiap malam, 'kan?"

The Love CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang