"Jadi gue harus gimana, Aqu."
Saat ini Aquera sedang ada di kamar Teresa, gadis itu memanggilnya untuk curhat masalah hubungannya dengan pacarnya. Katanya pacarnya ini meminta untuk menikah setelah Teresa lulus kuliah, tapi Teresa tidak mau, dia belum siap. Dia membuat target menikah saat usianya 25 tahun. Namun, karena dia berpacaran dengan pria yang lebih tua membuat pria itu tidak ingin di nanti-nanti lagi jika memang sudah bisa langsung menikah. Dan akhirnya Teresa meminta untuk putus pada pacarnya itu.
"Lu tau kan, nikah itu tidak seindah yang dibayangkan. Kalau soal biaya gue percaya pacar gue mampu, tapi ini soal mental gue."
Aquera mengangguk untuk membenarkan ucapan Teresa. Jika kalian berada di posisi Aquera sebagai pemberi saran. Di sarankan saat teman kalian curhat, apapun yang di sampaikan oleh teman kalian atas pikiran-pikirannya, sebaiknya kalian untuk menyetujui apa yang mereka opinikan kendati itu tidak sesuai dengan pemikiran kalian sendiri, setidaknya itu membuat teman kalian merasa ada yang berada di pihak mereka. Setelah itu kalian mencoba untuk membuat teman kalian mengerti dengan opini kalian dengan menuturkannya secara halus supaya teman kalian pun tidak merasa dibantah.
"Iya, aku ngerti dengan khawatiran kamu soal pernikahan dan kamu benar bahwa mental kamu adalah hal yang paling utama untuk membangun rumah tangga. Jika hanya berpikir kamu sanggup itu akan menjadi boomerang saat kamu dapat kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasi kamu."
Teresa langsung memeluk tubuh kecil Aquera, menurutnya hanya Aquera yang dapat mengertikannya.
"Gimana kalau misalnya pacar kamu itu malah ngajak nikah orang lain yang emang siap untuk diajak nikah?" Tanya Aquera membuat pelukan Teresa terurai dan bangkit.
"Masa iya gitu sih? Jahat banget dia kalau emang malah ngajak cewe lain nikah."
Aquera terkekeh mendengar ucapan Teresa. "Kalau kamu gak mau nikah kenapa kamu halangin dia untuk nikah? Padahal dia sudah memantapkan diri untuk menikah." Kali ini Teresa terdiam.
"Itu pasti karena kamu sayang sama dia, kan? Dia juga sayang sama kamu itu buktinya ngajak kamu nikah. Ya memang sebagian orang menikah karena ingin melanjutkan hidup, tapi menikah dengan orang yang menjadi pilihan kita adalah suatu bonus dalam kehidupan ini."
"Tapi banyak orang yang menikah dengan pilihan mereka tapi ujungnya tetap aja sama, cerai. Kayak bonyok gue."
Aquera tersenyum teduh menatap manik mata Teresa yang sudah berkaca-kaca. "Hidup itu seperti teka-teki, Teresa. Kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti, takdir sudah ada yang mengatur. Kamu benar, mentalmu lebih utama untuk menikah saat ini. Tapi ingat, hidup itu tidak akan lepas dengan yang namanya masalah. Jadi jangan takut dengan masalah yang mungkin akan terjadi, takutlah jika saat masalah itu datang mental kamu belum siap menghadapinya. "
Hening untuk beberapa saat, Aquera tidak kembali bersuara saat dia tahu bahwa sahabatnya itu sudah menangis dalam diam. Tangannya dia ulurkan untuk mengusap surai legam milik Teresa secara halus dan penuh kasih. Teresa bukanlah wanita yang gampang menangis jika dihadapi dengan masalah, namun sekuat-kuatnya Teresa, dia tetaplah wanita. Akan ada masanya dia tak tahan dengan sakit hati dan kegundahan jiwa yang selalu membuatnya resah di setiap nafas yang berhembus.
Setelah beberapa saat, setelah merasa puas menangis Teresa kembali memperlihatkan senyumnya pada Aquera.
"Gue gak mau putus. Gue sayang sama cowo gue. Gimana ini, Aqu?"
"Mending kamu bicarakan lagi dengan Kei, bilang padanya mengertilah untuk saat ini, mungkin saja setelah lulus nanti kamu sudah memikirkannya dengan baik-baik dan jadi berubah pikiran. Tenang saja, waktu kamu masih banyak buat memikirkannya lagi, asal ada komunikasi dari kalian berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Teen FictionAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...