Aquera duduk di atas kasurnya dengan perasaan hancur. Dirinya telah hancur, sungguh, dia berpikir ini akhir hidupnya.
Seorang Aquera yang selalu optimis, kini menganggap bahwa hidupnya benar-benar ada di ujung tanduk. Hanya dengan melihat dua garis biru di alat tes kehamilan yang sempat dia beli secara sembunyi-sembunyi 2 hari yang lalu.
Satu mingguan ini Aquera merasa perubahan pada tubuhnya dan kesehatanya yang kian menurun. Sering mengalami gejala awal kehamilan dan tentunya Aquera pasti langsung sadar.
Satu minggu lebih ini dia sudah berusaha menghindari pemuda itu, pemuda yang telah membuatnya dalam kondisi buruk seperti ini. Terakhir dia sudi menatapnya, pemuda itu menampilkan wajah pias dan menyedihkannya membuat Aquera tak ingin lagi menatapnya. Namun, tak ayal dirinya pun ikut sedih dah merasa kecewa kepada pemuda itu. Dia sungguh telah menganggap pemuda itu sosok yang berbeda dengan pemuda lainnya sehingga tidak akan melakukan hal bejat seperti ini.
"Aku harus gimana setelah ini." Aquera menyembunyikan wajahnya di kedua tangannya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "Ibu..."
Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota. Entah itu benar karena pekerjaan masing-masing, atau pertikaian mereka yang Aquera pikir tidak akan pernah usai.
Sepertinya Aquera benar-benar harus kembali berbicara dengan Elang. Pemuda itu harus bertanggung jawab dengan ini semua.
***
"Ra, kamu mau kemana?" Tanya Teresa saat melihat Aquera segera beranjak dari tempat duduknya setelah bel istihat baru saja berbunyi.
"Bertemu Elang."
Teresa hanya diam, dia tidak tahu permasalahan kedua insan itu. Yang dia tahu Aquera sudah tidak ingin lagi berhadapan dengan kakak kelasnya itu. Meskipun pemuda itu selalu saja gencar membujuk Aquera untuk dapat berbicara dengan gadis itu lagi.
Teresa termenung, kenapa sahabatnya itu sampai tidak bisa bercerita masalah ini kepadanya dan juga Inggit. Teresa bahkan sempat sakit hati saat dia berusaha membujuk Aquera untuk bercerita dan jawaban gadis itu yang membuat dia tidak nyaman.
"Tidak perlu semua hal aku ceritakan padamu, Sa."
Itu yang Aquera katakan sampai membuat Teresa merasa tak nyaman di hatinya, sampai saat ini.
Dilain sisi, Aquera berjalan tergesa-gesa menuju kelas Elang yang berada di lantai tiga, sedangkan kelas dia sendiri ada di lantai dua itu pun berada di sisi seberang dari bangunan kelas 12.
Aquera merasa perutnya sakit, saat harus berjalan dengan tergesa-gesa, apalagi saat menaiki tangga itu dan harus sedikit terdorong-dorong oleh beberapa siswa yang juga berhamburan keluar kelas.
Di ujung tangga Aquera hampir saja terjungkal saat tak sengaja terdorong oleh salah satu kakak kelas yang juga tergesa-gesa untuk turun tangga.
Namun, untung saja. Sebuah tangan menahan punggungnya supaya tidak jatuh menggelinding dari tangga.
"Aquera kamu gak apa-apa?" Tanya seseorang yang telah menyelamatkan Aquera dengan nada paniknya, jantungnya hampir melompat terjun bersama Aquera yang juga hampir jatuh. "Kenapa kamu bisa ada disini?"
Aquera menatap mata pemuda itu yang nampak berbeda. Mata yang menurut Aquera indah dan segar di pandang kini memiliki lingkaran hitam disekitaran matanya. Tangan Aquera seketika mencengkram lengan pemuda itu.
"Lang, ikut aku." Aquera langsung menarik pemuda itu untuk lanjut menaiki tangga menuju lantai teratas bangunan itu. Alias rooftoop sekolah mereka.
Elang yang tidak tahu apa yang akan Aquera lakukan pun hanya menurut dan membiarkan lengannya ditarik oleh gadisnya itu. Sungguh dia sangat senang saat Aquera kini mau berbicara padanya lagi. Sudah seminggu lebih ini dia berusaha berbicara pada Aquera bahkan datang ke rumah gadis itu pun selalu saja di tolak. Bahkan nomor teleponnya pun Aquera blokir karena tidak ingin berbicara kepadanya.
Sampai di rooftoop Aquera langsung melepaskan cengkramannya dari Elang. Untung saja saat ini disana masih belum ada murid lain, Aquera takut jika ada murid lain yang menguping itu sebabnya dia langsung mengunci pintu rooftoop itu dari luar.
Elang tidak menanyakan apa yang sedang Aquera perbuat dengan pintu tersebut. Dia segera berjalan menghampiri Aquera dan didekapnya tubuh ringkih itu dari belakang.
Aquera yang mendapatkan serangan mendadak itu merasa sekujur tubuhnya meremang. Dia masih tidak bisa melupakan apa yang telah pemuda itu perbuat kepadanya.
"Elang, lepas." Aquera menggeliat dari pelukan pemuda itu sampai akhirnya dia berhasil lepas dari dekapan Elang.
Elang merasa heran, dia pikir Aquera telah memaafkannya dan ingin memperbaiki hubungan mereka. Sungguh dia sangat rindu dengan Aquera, dia sangat menyesali dengan perbuatannya saat ini. Bahkan dia tidak bisa berhenti untuk terus merutuki dirinya sendiri setiap malam. Tangisnya tidak akan memperbaiki hubungannya dengan Aquera, dia tahu itu. Tapi dia tidak bisa membendung sesuatu di pelupuk matanya dia itu tentang Aquera.
Aquera menarik nafasnya dalam-dalam sebelum bersiap untuk mengatakan sesuatu yang menjadi alasan dia menarik Elang ke sana.
"Lang." Aquera memejamkan matanya saat pandangannya buram karena air mata. Jantungnya bergemuruh, tenggorokannya rasanya tercekat untuk melanjutkan ucapannya. "Lang, aku hamil."
"Hah?" Detik itu juga Elang merasakan tubuhnya seperti dijatuhi batu berton-ton beratnya. Ah, ini hasil dari kesalannya.
Dia masih tetap membeku di tempat, hatinya ikut hancur, entah karena memikirkan masa depan mereka, atau melihat Aquera yang sudah terduduk dilantai tak kuat lagi menahan tangisnya.
Elang ikut terduduk di sana untuk memeluk gadis yang bahkan tidak kuat berdiri dengan kakinya sendiri. "Maafkan aku- tidak. Jangan maafkan aku."
Elang mengusap wajah gadis itu yang masih berderai air mata. Dikecupnya sayang kening Aquera, lalu membisikan kata penenang di telinga Aquera dengan lembut.
"Jangan khawatir, ya? Aku akan tanggung jawab. Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Elang mengangkat tubuh Aquera untuk berjalan menuju kursi yang ada disana.
Pemuda itu berusaha untuk bersitatap dengan mata Aquera. "Lihat aku, sayang." Setelah mata mereka bertemu, kini malah Elang yang tidak bisa membendung air matanya saat yang dia lihat hanya kesedihan dari mata pujaan hatinya itu. Selama ini, hanya itu yang paling dia takutkan.
"Akh, aku mohon maafkan aku. Mohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki ini. Jangan sedih lagi, apapun yang terjadi percayalah aku akan selalu ada di sisi kamu."
Tidak mungkin Aquera tidak percaya saat pemuda itu berjanji dengan menangis dengan sakit seperti ini.
***
"Kita akan langsung membicarakan ini dengan keluargaku." Aquera mencengkram lengan seragam Elang yang sedang bertekuk lutut di depannya. Mereka sudah mulai tenang setelah beberapa saat menyalurkan kesedihan masing-masing.
"Itu terlalu cepat." Aquera menjawab dengan suaranya yang serak.
Elang tersenyum mencoba menenangkan Aquera yang menatapnya lekat. Tangannya terulur untuk mengusap surai Aquera yang terjatuh menutupi wajah cantiknya. "Jika kita menundanya, hasilnya akan tetap sama. Lebih cepat, itu lebih baik."
Mereka berdua tidak ada yang berpikiran untuk menggugurkan bayi itu. Karena tidak ada salah satu di antara mereka yang berpikiran sekejam itu. Mereka berdua bukanlah orang yang mudah mengambil keputusan tanpa memikirkan resiko yang akan di dapat.
Mungkin pernah, satu kali, saat kedua orang itu memutuskan untuk saling mencintai.
Bersambung...
Aduh aingmah ges mulai males nulisnya juga T_T
Tapi, asal mah kalian gak males bacanya, bakal maksakeun ini mah.So, jangan mikir tangisan Elang itu cuma air mata buaya doang ya! Karena Elang bukan karakter yang seperti itu.
Ingat, book gue itu :
Mencintai satu orang itu, sangat indah rasanya.
Tapi gue sendiri sih gak bisa awkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Novela JuvenilAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...