Setelah hari itu, Aquera yang dulunya tak terlalu acuh dengan keberadaan Elang, tapi sekarang menjadi fokus utamanya jika kehadiran pemuda itu terlihat oleh retinanya.
Meski tidak sehisteris Teresa yang merupakan penggemar berat kakak kelasnya itu. Aquera hanya diam-diam tersenyum untuk menutupi rasa senangnya karena kini dia telah tahu siapa mengirim surat yang membuatnya jatuh hati.
"Aquera."
Aquera mendonga melihat ke arah Teresa yang mengajaknya bicara saat dia tengah mengerjakan soal latihan.
"Apa?" Tanyanya.
"Lu habis ngapain aja bareng kak Elang?" Tanya Teresa setelah bisa duduk di samping Aquera, tentunya dengan mengusir terlebih dahulu teman sebangku Aquera yang merupakan pemuda culun di kelas mereka.
Aquera menyimpan alat tulisnya di atas meja, kebetulan guru mereka sedang keluar jadi mereka hanya diberi tugas mengerjakan latihan soal saja. "Hanya berdiskusi saja. Tapi aku merasa itu bukan diskusi."
Teresa mengenyit bingung. "Terus apa dong?"
"Semua ide dari kak Elang, semua pengamatan dia yang lakukan, dia benar-benar menginginkan tema itu. Aku jadi merasa tak berguna." Aquera menelungkupkan wajahnya di atas meja, kepalanya berguling-guling ke kanan dan ke kiri.
Teresa menggelengkan kepala sambil berdecak. "Kalau gitu gue aja yang gantikan lu. Jadi beban adalah keahlian gue."
Segera Aquera mengangkatkan kembali kepalanya. "Kalau itu tidak bisa." Katanya.
"Kenapa?"
Aquera mengacungkan jarinya, jangan lupakan mulut kecilnya juga yang terbuka sebelum kembali dia tutup. "Tidak papa."
"Lu juga suka kan sama kak Elang? Heh, kata gue juga apa pesonanya melebihi Joshua Hong. Gue jadi iri sama lu yang bisa berduaan bareng kak Elang."
Aquera bingung harus menjawab apa, dia tidak mungkin langsung jujur mengatakan bahwa mereka memang benar-benar saling suka. Memikirkannya saja Aquera sudah merona.
"Tapi cocok juga sih kalau kak Elang disandingin sama cewe tipenya kayak lu gitu."
Seketika yang awalnya hanya pink merona kini menjadi semerah tomat. "Kok bisa?!" Tanya Aquera kepada Teresa yang kini memicingkan mata menatap ke arahnya.
"Kenapa lu, seneng lu?"
"I-ih bukannya gitu. Tapi kenapa kamu mikir kita cocok?"
Teresa memiringkan kepalanya, membayangkan bagaimana kedua sejoli itu bersanding. "Sebenarnya cocok itu bagaimana dari diri kalian juga sih. Kalian itu bagai mirror self, tapi kadang juga orang harus mencari pasangan yang kontras dengan diri sendiri. Tapi kayaknya gue gak bakal ridho kalau liat kak Elang deket sama cewe centil, petakilan, bar-bar."
Aquera sempat menengok ke arah temannya itu saat mengatakan tipe perempuan yang tidak cocok dengan Elang. Apa dia sedang mendeskripsikan dirinya sendiri?
"Ya, kamu hanya tidak tahu seperti apa kak Elang yang sebenarnya."
"Emang lu tau?"
"Tidak."
Teresa mencondongkan tubuhnya untuk membisikan sesuatu kepada Aquera. "Nanti kalau lu tahu sesuatu kasih tahu gue juga, oke."
"Kamu jangan jadi fanatik dong."
"Aih, enggak-enggak gue gak fanatik kok. Gue bukannya mau tahu ukuran sepatu dia. Cuma makanan kesukaannya aja apa."
Aquera merotasikan matanya. Tapi sepertinya dia juga tidak tahu makanan kesukaan kakak kelasnya itu apa. Itu pasti karena mereka belum sedekat itu, Aquera jadi membayangkan bagaimana nantinya mereka akan melanjutkan hubungan mereka. Bahkan kemarin saja mereka jalan bergandengan tangan dan ajaibnya tidak ada yang melihat aksi mereka. Jika ada satu orang saja yang melihatnya, sudah dipastikan berita itu akan menyebar dengan cepatnya. Aquera yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Teen FictionAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...