Bab 17 : Hal yang tak dimengerti

143 19 1
                                    

"Argh nyebelin banget!"

"Tenang, tenang dulu."

"Gimana gue bisa tenang, Ra?! Revisi lagi, revisi lagi." Teresa sudah frustasi mengerjakan skripsinya yang sangat amat mempusingkan menurutnya. Dia sudah merevisi itu 2 kali, dan ini kali ke 3 nya dia di revisi. "Gimana caranya skripsi lu diterima, hah?" Tanyanya kepada Inggit yang sedang rebahan di atas tempat tidur seraya menonton drama yang sedang trending, itu sangat menjengkelkan bagi Teresa yang juga ingin menonton namun terhalang oleh skripsian.

"Hm? Gue dibantu Gerald." Jawab Inggit santai tak peduli salah satu sahabatnya yang sedang uring-uringan dan yang satunya lagi sedang mencoba menenangkan.

"Sial. Enak banget. Gue mau ngejob deh ke si Gerald gimana?"

Inggit kemudian bangkit. "Dia malesan ditambah udah kaya." Jawabnya dingin. "Lu sendiri punya pacar berpengalaman, gak minta bantuan ke dia?"

"Hais, jangan bahas soal Kei. Cowo satu itu ngeselin banget, so iye, so cakep, so pinter, ngomongnya biar gue paham. Kenapa gak dia aja yang ngajarin gue sih? Di minta ngajarin ngomongnya gak ahli. Tapi ngasih wejangan kayak yang bener aja, sebel."

Aquera meringis mendengar Teresa dengan sekali tarikan nafas saja. Dia sendiri prihatin melihat Teresa yang kesulitan tapi dia tidak bisa banyak membantu karena tidak paham dengan materi mengenai jurusan sahabatnya itu. Dia hanya bisa memberi saran saja.

"Gini saja." Ucap Aquera menarik perhatian kedua sahabatnya. "Gimana kalau kamu meminta bantuan untuk kali ini saja ke ayah kamu?"

Teresa berdecak mendengar ucapan Aquera. "Jangan harepin bokap gue, ra. Dia mana peduli urusan gue."

"Iya, itu karena kamunya yang menjauhkan diri dari ayah kamu, Sa." Aquera sedikit menggeserkan duduknya untuk lebih dekat dengan Teresa. Memegang lengan sahabatnya itu yang sebenarnya sudah menegang. "Aku tahu, sebenarnya ayah kamu pasti mau kalau kamu meminta bantuan lebih dulu pada beliau. Dan aku yakin ayah kamu pasti tidak akan pernah menolak permintaan kamu."

Teresa tak membalasnya, dia tetap bergeming. Aquera melanjutkan ucapannya. "Kalau misalnya ayah kamu tidak mau, kamu baru bisa menyebut ayah kamu buruk bagi anaknya."

Akhirnya Teresa mau melihat ke arah Aquera dan bertanya. "Terus gue harus apa?"

Aquera tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu minta ayah kamu meluangkan waktu untuk kamu, terserah itu mau dimana pun. Lalu kamu katakan apa alasan kamu meminta beliau untuk bertemu denganmu, kalau beliau mau meluangkan itu berarti beliau pasti mau membantu urusan kamu..."

"... nah, kamu tidak perlu menyerahkan proposal kamu yang tebal itu, hanya ambil poin penting yang menurut kamu masih ragu dan tanyakan pada ayah kamu, supaya kekeliruan kamu itu bisa terataskan dan mendapatkan jawaban."

Hening untuk beberapa saat, Aquera menatap Teresa harap-harap sahabatnya itu mau mendengarkan sarannya ini. Dia tahu apa yang menjadi masalah dalam hubungan orang tua dan anak tersebut, itu sebabnya dia ingin mendekatkan kembali hubungan mereka. Aquera tidak tahu sifat dari ayah Teresa yang sebenarnya. Namun, yang dia tahu ayah itu adalah seorang panutan. Beliau pasti akan memberikan yang terbaik.

Teresa menghela nafasnya pasrah, kemudian tersenyum hangat kepada Aquera. "Thanks, meski gue rada ragu nih buat ngabarin bokap gue, tapi bisa gue coba."

Aquera balas tersenyum atas respon dari Teresa, sampai bunyi nada dering terdengar dari handphone milik Aquera. Dia langsung mengangkat panggilan tersebut yang ternyata dari ibunya.

I'm (not) MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang