"Aku takut ketemu orang tua kamu."
"Hah?" Tentu saja Aquera terkejut, mereka sudah ada di depan teras rumah Aquera. "Aku pikir kamu akan berlagak gentleman."
Elang menggeleng untuk menanggapi ucapan kekasihnya. "Aku takutnya aku tidak selamat, sedangkan kamu harus berjuang sendiri setelah aku pergi."
Aquera terkekeh mendengar penuturan Elang. Tak lama wajahnya menampilkan senyum getir. "Orang tuaku memang pasti sangat marah. Tapi tidak sampai melenyapkan orang yang ingin mereka minta pertanggung jawabannya."
***
Aquera tengah berbaring di atas kasurnya tanpa pergerakan sedikit pun selain berkedip dan bernafas. Dia tidak terlelap. Suasananya terlihat damai, bagai tidak ada riak sama sekali.
Nyatanya sebaliknya.
Setelah satu minggu berlalu Aquera dan Elang mengatakan keadaan Aquera kepada orang tuanya. Kedua orang tua Aquera tentu saja marah besar terlebih ayahnya, bahkan saat itu Elang mendapat pukulan dari tangan ayahnya Aquera.
Setelah itu kedua orang tuanya tidak meminta penjelasan lebih lanjut, mereka menegaskan ini salah keduanya. Dan itu menjadi kekecewaan bagi mereka pada Aquera.
Pertengkaran pun kembali terjadi di antara sepasang suami istri itu, menyalahkan satu sama lain dengan keadaan anak mereka. Dan begitu pun sekarang keduanya jarang berada di rumah. Berpencar mengurusi pekerjaan masing-masing. Bahkan mereka tidak tahu bahwa seminggu ini Aquera tidak masuk sekolah karena kondisi tubuhnya yang kurang sehat.
Dengan kehamilan di usia yang muda dan beban pikiran yang bertumpuk membuat kondisinya semakin down.
Kedua sahabatnya tentu datang menjenguknya, hanya saja mereka tidak tahu alasan kenapa Aquera bisa sakit seperti itu. Kemudian Elang, pemuda itu selalu mendatangi Aquera secara diam-diam. Mengingat orang tuanya saat ini sudah tidak mengizinkan Elang untuk bertemu dengan Aquera.
Seperti saat ini, seseorang sedang mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar Aquera setelah berusaha memanjat menuju balkon kamar Aquera.
Aquera sudah menunggunya sedari tadi, karena itu dia segera beranjak dengan hati-hati. Berjalan menuju pintu balkon tersebut dan membukanya.
"Kamu seharusnya gak usah ketuk lagi, pintunya gak pernah aku kunci."
Elang memasang senyum hangatnya seperti biasa. "Maaf." Tangannya terangkat menyentuh wajah pucat Aquera. "Masih pusing? Atau perutnya sakit lagi?"
Aquera menyentuh tangan besar Elang yang terasa hangat di kulitnya. Menikmati tekstur tangan pemuda itu yang tidak lembut, tapi itu sangat nyaman.
"Masih."
Jawaban dari Aquera segera membuat Elang panik dan menuntun Aquera kembali masuk ke dalam kamarnya. Mendudukan tubuh mereka berdua di atas kasur Aquera. "Tidur lagi aja, ya?"
Aquera mengangguk dan berbaring kembali di atas kasurnya. Elang berinisiatif menutupi tubuh Aquera dengan selimut, tapi pergerakannya di tahan oleh Aquera. "Kenapa kesini? Bukannya lagi sibuk?"
"Udah enggak." Elang kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh Aquera. Kemudian mengusap lembut kepala Aquera seraya tersenyum saat Aquera sedari tadi mengamatinya. "Orang tua kamu ada di rumah?"
Aquera menggeleng. Dia tidak mendengar suara mobil orang tuanya sedari pagi.
Elang mengigit bibirnya, gejolak emosi memenuhi benaknya. Sungguh dia ingin menculik Aquera saat ini juga. Karena kesalahan yang dilakukannya membuat hidup gadis terkasihnya menjadi seperti ini. Disaat kondisinya tidak baik-baik saja, kedua orang tuanya bahkan meninggalkan anaknya seorang diri seperti ini. Mungkin saja jika dia tidak tahu malu, dia akan berbicara kepada orang tua Aquera mengenai sikap mereka terhadap anak mereka sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Teen FictionAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...