Bab 22 : Luka

151 17 0
                                    

Aquera terbangun dari tidurnya. Udara malam ini terasa dingin seperti hari-hari biasanya. Ada mesin penghangat ruangan di kamarnya namun tetap saja jika dia lupa untuk menutup jendela kamar tidurnya tadi itu akan tetap dingin karena membuat angin malam masuk ke dalam kamar.

Aquera bangkit dari kasurnya lalu berjalan hendak menutup jendela kamar itu. Saat akan menutup jendela tersebut, pergerakan Aquera terhenti saat melihat pemandangan kota Seoul dari apartemen asramanya yang berada di lantai 4.

Masih memandangi keindahan lampu kota dan suara kendaraan dari kejauhan, angin malam berhembus menerpa wajah cantiknya. Matanya terpejam secara otomatis.

Mungkin dia tampak baik-baik saja, wajahnya sangat sejuk berbanding terbalik dengan isi pikirannya. Perkataan Yeri tadi sore membuat sebagian pikirannya direngut dengan kata-kata yang Yeri celetukan.

"Kak, apa kau tak merasa janggal dalam kasusmu?" Tanya Yeri.

"Kasus apa?"

"Kecelakaanmu."

Aquera merengut tak paham. "Maksudmu ada yang sengaja mencelakaiku?" Tanyanya.

"Bukan, tapi apa kau berpikir bahwa sebenarnya kakak tidak koma selama itu. 2 tahun itu cukup lama, karena biasanya yang mengalami kecelakaan koma paling lama sampai 4 bulan."

"Tapi tidak menutup kemungkinan bukan? Lagi pula saat bangun aku ingat bahwa aku mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang sekolah. Dan itu terjadi 2 tahun yang lalu dari aku siuman."

Yeri termenung, Aquera pun sama namun dia jadi ikut berpikir yang dikatakan Yeri barusan. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" Tanyanya.

"Aku tidak tahu, tiba-tiba terpikirkan saja."

Karena sibuk melamun, Aquera tak menyadari bahwa tubuhnya sudah menempel dengan jendela tersebut. Saat  dia membuka matanya dan bergulir menatap ke bawah, dapat Aquera lihat pemandangan mengerikan dari lantai 4 kamar apartementnya tersebut. Di bawah sana terlihat gelap dan tinggi. Aquera secara spontan memundurkan tubuhnya bahkan sampai terjatuh ulah kakinya sendiri.

Nafasnya tersenggal-senggal, keringatnya bercucuran, matanya memerah. Selalu seperti ini jika dia melihat sesuatu dari ketinggian.

Teringat dengan kejadian saat di kolam renang waktu itu, itu lebih parah dari biasanya, bahkan dia sampai pingsan. Aquera tak paham kenapa phobianya sangat berlebihan seperti ini.

Aquera menengok ke sisi kanannya, ada sebuah cermin panjang yang dia letakkan di sana. Dapat Aquera lihat pantulan dirinya saat ini dalam posisi duduk yang sama, wajahnya tampak terlihat pucat meski dalam kondisi kamar  yang temaram.

Aquera melihat ke arah posisi punggungnya di kaca. Karena awalnya sempat teringat dengan kejadian di kolam renang, dia juga jadi teringat akan kondisi punggungnya yang bahkan saat itu dia diolesi sunblok oleh Erlangga.

Aquera segera bangkit dan menyalakan lampu kamarnya. Lalu kembali lagi berdiri di depan cermin. "Bagaimana aku bisa lupa." Kondisi punggungnya itu memiliki beberapa bekas luka akibat insiden kecelakaannya waktu itu.

Tak berpikir panjang Aquera segera membuka piyama yang dikenakannya. Setelah itu mengarahkan punggungnya ke arah cermin. Luka itu mungkin saja tak terlihat jika dilihat dari kejauhan, namun saat itu Erlangga berada di belakang punggungnya. Pria itu pasti melihat beberapa luka ini.

"Apa ini terlihat wajar?" Sampai dia, Erlangga tak menanyakan kehadiran luka-luka ini.

Aquera menghela nafasnya pasrah, dia seharusnya tak perlu memikirkannya lagi. Luka ini memang perlahan-lahan menudar. Kemudian Aquera berdiri menghadap cermin, matanya turun ke arah perutnya yang terpantul dalam cermin tersebut. Satu dan selalu membuat Aquera tak mengerti, bagaimana perutnya ini bisa memiliki bekas luka operasi. Mungkin dia mengalami kerusakan di organ dalamnya, itu yang selalu dia pikirkan.

I'm (not) MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang