"Ibu...." Lirihnya memanggil sang ibu setelah telepon itu tersambung.
"Ada apa, Aquera? Kenapa kamu terdengar parau seperti itu?" Tanya Hena panik.
Aquera menarik nafasnya kuat, dia harus berani untuk bertanya pada ibunya perihal semua ini. "Ibu, katakan. Apa ibu pernah membohongiku?" Tanyanya mencoba untuk berbasa-basi yang sebenarnya itu sangat dalam untuk ditanyakannya.
Tak terdengar sautan dari seberang sana untuk beberapa waktu. "Tentu saja pernah. Bahkan saat kamu kecil ibu harus membohongi kamu bahwa ibu dan ayah sibuk bekerja padahal kamu saling menghindar satu sama lain."
Aquera memejamkan matanya, sebanarnya tanpa ibunya katakan pun dia sudah tahu itu hanya saja Aquera lebih memilih pura-pura tak tahu. Namun saat ini bukan itu yang dia mau tahu. "Kenapa setiap ibu jika berbohong pada anaknya, itu demi kebaikan anaknya juga?" Tanyanya lagi.
"Semua ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya."
"Bagaimana jika anaknya tahu kebohongan itu, dan itu menjadi hal yang buruk bagi anaknya?"
Kembali diam untuk beberapa saat, Aquera setia menunggu jawaban dari sang ibu sambil menormalisasikan deru nafasnya yang sebenarnya sesak setiap dia bersuara.
"Ibu harap dia tak membenci ibunya."
Aquera ambruk di lantai kamarnya karena kakinya sudah tak kuat dan lemas. Dia kembali menangis meski ditahan. "Mana mungkin aku membenci ibu." Lirihnya. "Ibu, apa alasan sebenarnya membiarkanku kuliah di Korea? Apa untuk menjauhkan aku dengan suatu kebenaran?"
"Aquera?" Terdengar nafas yang tercekat dari sana. "Ibu tahu semakin lama kamu akan semakin ingat. Itu tandanya otakmu sudah pulih. Ibu hanya tak menyangka bahwa hari dimana kamu mengingatnya kembali itu adalah hari ini."
Aquera menggeleng frustasi meski tak dapat di lihat oleh siapa pun. "Aku tidak akan pernah tahu, tidak akan pernah ingat, jika hari ini tak melihat foto itu dan mendengar kebenaran ini darinya, ibu." Tangisan Aquera kini semakin menjadi. "Ibu, bagaimana ini? Aku menelantarkan mereka."
"Tidak Aquera, dia mengatakan ini adalah kesalahannya jadi ini konsekuensi bagi dirinya." Hena berupaya meyakinkan Aquera untuk tak menyalahkan dirinya sendiri, karena semua ini di luar kehendak Aquera. Anak perempuannya itu tidak bersalah, dia anak yang sangat baik.
"Tapi-" Aquera menghentikan ucapannya, menarik nafasnya untuk kembali menangis lagi. "Anakku menjadi korbannya."
Aquera tak bisa memaafkan dirinya sendiri, ini sungguh tak dapat dia hindari, tapi tetap saja Aquera sangat merasa bersalah. Bagaimana mungkin dia tega meninggalkan kedua orang itu disaat mereka sedang butuh-butuhnya.
"Sekarang, coba kamu hubungi dia, Aquera."
Aquera menggeleng ribut. "Aku mau tapi aku tak bisa, aku tak berani, ibu."
"Tenang Aquera, dia bahkan sangat menunggu hari ini. Dia selalu menunggu kamu."
Aquera beranjak dari duduknya. "Bagaimana jika dia membenciku, ibu?"
Tanpa Aquera tahu, Hena menggeleng di sebrang sana. "Tidak akan, bahkan saat kamu kembali tanpa mengingatnya, di matanya hanya ada cinta untukmu."
Dengan perlahan Aquera sudah mulai tenang. Dia sudah menenangkan hatinya setelah mendengar penuturan dari sang ibu.
"Kamu tinggal coba menghubunginya, Aquera."
Aquera mengulum bibirnya, dia juga sangat ingin menghubungi pria itu, namun dia tak memiliki keberanian. Bahkan nyalinya sudah menciut saat hendak mencari kontak pria itu. Saat di Indonesia Aquera ingat pernah mendapatkan nomor kontaknya, pria itu sendiri yang memberikannya dan Aquera menerimanya dengan ragu. Siapa sangka bahwa pria itu sudah menebak hal ini akan terjadi, dan itu alasan lain kenapa dia memberikan nomor kontaknya kepada Aquera.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Teen FictionAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...