Ketiga orang dewasa itu duduk di atas sofa, membiarkan Genaya dan Aluka kembali asik bernyanyi.
"Aquera, saya tidak menyangka kamu ada disini. Kebetulan sekali."
Aquera mengangguk patah-patah. Ingat, dia memiliki rasa tak nyaman terhadap kehadiran Harka. Meski begitu dia tidak bisa semena-mena menyuruh pria itu untuk pergi dari sana.
"Kamu ngapain ke sini?" Tanya Erlangga yang tahu dengan suasana hati Aquera, dan sebenarnya Harka juga tahu apa yang dirasakan Aquera, mahasiswa psikolog sepertinya tidak mungkin mengabaikan gerak-gerik semua orang yang berbicara dengannya, namun karena dia suka sekali menggoda Aquera, dia biarkan Aquera berada di situasi yang tak nyaman seperti ini.
Harka beralih menatap Erlangga. Kini raut wajahnya sedikit kesal. "Gue sudah tidak ketemu Aluka selama beberapa bulan ini, dan lu tanya kenapa?"
Erlangga menghela nafasnya malas. Bukan itu yang ingin dia katakan, tapi kenapa harus sekarang? Teriak Erlangga dalam hati.
"Terima kasih sudah rawat Aluka dengan baik akhir-akhir ini."
Kini Erlangga jadi kesal sungguhan. "Hei! Lu pikir gue ini tidak pernah rawat Aluka dengan baik sebelumnya. Dan lagi, gue ayahnya, kenapa lu ngomong seolah-olah Aluka anak lu?!" Erlangga mendelik kesal.
Namun, berbeda dengan Harka yang tersenyum santai, matanya beralih pada Aquera yang masih membisu. Dapat di baca dari raut wanita itu yang tak mengerti keadaan sekitar dari pertengkaran kecilnya tadi. Erlangga pun melihat ke arah Aquera untuk memastikan perubahan raut wajah wanita itu. Setelahnya dia menghela nafas, menyesali telah menimpali candaan Harka dengan serius.
"Sama seperti kepada saya. Apa Aluka pun sering memanggil pria lain dengan sebutan Papa?" Tanya Aquera.
"Tidak, dia hanya memanggil papa pada orang yang pernah merawatnya. Dia sudah seperti anak kandung bagi saya." Jawab Harka mengabaikan reaksi dari Erlangga. Aquera melihat itu, mata Harka yang menatap penuh kasih kepada sosok kecil disana. Seketika dia luluh, apa dia terlalu bersikap jahat pada pria ini karena sempat berpikir bahwa Harka ini pria yang selalu berbicara omong kosong dan tentunya usil. Aquera pun beralih melihat Aluka yang begitu bahagia saat ini.
Namun, di sisi lain, Harka menyunggingkan senyumnya tipis. Tak perlu melihat seperti apa raut wajah Aquera, dia sudah tahu dengan apa yang sedang dipikirkan wanita itu. Aquera ini orang yang gampang terpancing emosi sehingga hatinya gampang sekali di bolak-balikan.
"Mama!" Terlihat Aluka berlari lagi menuju sofa dimana ketiga orang dewasa itu duduk. Langkahnya mendekat ke arah Aquera. "Ma, mama mau menginap, kan?"
Seketika Aquera bingung harus menjawab apa. Di liriknya Erlangga untuk meminta bantuan menjawab pertanyaan Aquera tadi.
"Iya. Mamamu akan menginap." Bukan Aquera yang menjawab, melainkan Harka yang berbicara dengan santainya, membuat Aluka seketika berbinar.
"Benarkah?!" Antusiasnya.
Erlangga berjalan menghampiri Aluka dan Aquera, sebelum itu dia mendorong Harka hingga sahabatnya itu terbaring di atas sofa saat melawatinya. "Enggak, sayang." Erlangga menangkup wajah mungil Aluka yang menampilkan raut wajah kecewa.
"Kenapa mama gak pernah menginap? Kenapa mama gak pernah bobo sama Aluka." Gadis itu beralih menatap Aquera. "Mama, Aluka juga mau bobo sama mama. Mau di puk-puk kayak yang temen Aluka ceritakan."
Aquera tak bisa merespon dengan benar, dia sendiri bingung harus menjawab apa.
"Aluka, kan bisa tidur sama ayah. Ayah juga kan suka puk-puk Aluka." Aluka kini terdiam, itu memang benar, tapi apa salahnya dia ingin di nina bobokan oleh Aquera saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) MAMA
Teen FictionAquera mengambil cuti kuliahnya di luar negri untuk pulang ke rumah. Saat berkumpul dengan temannya di sebuah cafee, saat itu ada seorang anak kecil berusia 5 tahunan yang berlari ke arahnya dan memanggilnya dengan sebutan "Mama!" Jelas saja dia ter...