Bab 25 : Awalan

162 19 1
                                    

Aquera membuka matanya untuk pertama kalinya, setelah dikabarkan kritis. Matanya mengedar, langit-langit ruangan itu yang serba putih. Saat ingin mengangkatkan kepala, lehernya terasa kaku dan sulit digerakan.

Aquera panik karena seluruh tubuhnya tidak bisa digerakan, dia ingin lari menuju ibunya dan mengadu dengan apa yang dirasakannya. Namun, bagaikan mati rasa, bahkan jarinya saja sulit dia gerakkan.

Sampai terdengar suara pintu dibuka. Aquera merasa nafasnya memberat, air matanya membendung. Namun dia merasa lega, ternyata telinganya masih berfungsi karena sebelumnya yang dia dengar hanya keheningan.

"Aquera!!" Teriak seorang wanita yang dia kenal, itu ibunya. Terasa tubuhnya didekap oleh ibunya. "Ya tuhan, akhirnya kamu siuman, nak."

Aquera melihat pada wajah ibunya yang mengeluarkan air mata suka cita. Air matanya pun luruh dari pelupuk matanya. Bibirnya bergerak-gerak meski tak ada suara yang dapat dia keluarkan.

Melihat itu, sang ibu langsung memberikan air minum kepada Aquera. Membantu Aquera untuk mengangkat tubuhnya karena sang empunya tubuh tak bisa menggerakannya.

"I-bu." Cicit Aquera dengan suara yang sangat serak.

"Jangan paksain dulu, sayang. Pelan-pelan." Setelah membaringkan Aquera lagi, Hena buru-buru memencet tombol untuk memanggilkan dokter. Tak lama dokter dan suster masuk, beserta ayah Aquera, Bara.

Dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuh Aquera, dari mata sampai setiap persendiannya. "Syukurlah Aquera dapat siuman dengan cepat, tadinya saya khawatir Aquera akan memerlukan waktu yang lama untuk bisa sadar karena benturan keras di kepalanya hampir membuatnya gegar otak berat. Saat ini kondisinya berangsur membaik, hanya membutuhkan waktu hingga tulang-tulangnya dapat pulih dan dapat digerakkan lagi, kita akan mengadakan rehabilitasi supaya Aquera dapat berjalan dengan normal lagi. Saya pastikan Aquera dapat sembuh total."

"Terima kasih dokter atas semua kerja kerasnya hingga anak saya dapat kembali siuman." Balas Hena dengan sangat tulus, dia sangat senang saat melihat Aquera membuka matanya. Selama ini dia selalu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada anaknya.

Dokter wanita itu tersenyum. "Itu semua juga berkat Aquera sendiri yang ingin sembuh. Setelah itu teruslah berusaha supaya dapat sembuh total dan melanjutkan hidup dengan normal. Saya izin pamit undur diri, jika ada yang diperlukan anda bisa memanggil saya kapan saja."

Setelah itu dokter dan suster tersebut pun meninggalkan ruang inap milik Aquera. Meninggalkan keluarga yang sedang bersuka cita.

Bara yang tadi belum sempat memeluk anaknya, kini langsung merengkuh tubuh tak berdaya Aquera. "Ayah takut kehilangan anak ayah satu-satunya ini." Suara lirih pria itu terdengar sangat pilu, yang mampu membuat siapa saja yang mendengarnya ikut merasakan perasaan sedih yang dirasakannya.

Hena menangis sesenggukan, dirinya pun bahkan melihat Aquera yang menitikan air matanya saat mendengar suara sang ayah. Bara ini terbilang ayah yang tidak terlalu dekat dengan anaknya, dirinya selalu disibukan dengan pekerjaan kantornya yang tidak ada habisnya. Aquera sendiri anak yang tidak manja, dan jarang sekali merengek meminta sesuatu kepada ayahnya. Sehingga membuat keduanya tak banyak mengobrol, hanya sekali-kali jika ada kesempatan saat sarapan dan makan malam.

Meski begitu, berita mengenai Aquera yang mengalami kecelakaan lalu lintas menjadi pukulan telak bagi Bara. Merasa menjadi ayah yang tak berguna, itu yang pertama kali dia pikirkan saat mendapatkan telepon dari tim kepolisian.

"A-yah." Bibir Aquera berucap dengan suara yang sangat serak. Dirinya tak tahan mendengar tangisan ayahnya yang pilu. Bagaimana pun ini kesalahannya sendiri karena tak hati-hati saat menyebrang di jalan raya.

I'm (not) MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang