Lembayung Senja - 21. Sebuah Sesal

4.6K 412 13
                                    

Ketika melakukan sesuatu dengan perasaan ragu, maka hasilnya tidak akan sesuai seperti yang diharapkan. Itu juga yang saat ini Jean rasakan setelah sebelumnya ia berpikir puluhan kali untuk datang ke rumah sakit. Sembari menenteng sebuah papper bag berisi makanan China yang sebelumnya ia beli saat perjalanan menuju rumah sakit, Jean berdiri untuk waktu yang cukup lama didepan sebuah pintu ruang rawat tanpa berniat masuk ataupun mengetuk pintu.

Jean ingat seberapa buruk luka yang diberikan adiknya untuk seseorang yang saat ini berada dalam ruangan tersebut, mengingat badan Mahes yang bongsor --bahkan lebih kekar dari Gama-- membuat Jean merasa bersalah dan bertanggung jawab atas apa yang adiknya perbuat.

Tapi, Jean sempat merasa ragu untuk datang karena dia takut hal lebih buruk bisa saja terjadi. Sayangnya, lagi-lagi kali ini Jean mengabaikan logikanya dan memilih untuk mengikuti apa kata hati sehingga akhirnya disinilah dirinya sekarang. Diam seperti orang linglung yang melihat pemandangan didalam ruangan dari kaca kecil didepan pintu.

Gama tidak sendirian ternyata. Pria itu sedang bersama seorang perempuan yang sudah Jean duga akan kedatangannya dan seharusnya Jean tidak terkejut. Agaknya, eksistensi perempuan itu masih menjadi sesuatu yang tidak bisa membuat Jean terbiasa. Perlahan, genggaman tangannya pada papper bag melemas dan kedua kakinya mengambil langkah mundur --memilih pergi sebelum kehadirannya disadari orang lain.

"Kak Jean?" Untuk sejenak Jean menegang. Suara yang sudah tak asing itu seperti gelegar petasan tahun baru yang sangat Jean benci.

Ia menoleh untuk mendapati Ale yang berdiri tak jauh dari arahnya. Gadis itu terlihat begitu manis dengan overall biru muda serta rambut yang diikat dua, namun berbanding jauh dengan ekspresi juteknya. Nampaknya Jean kian memantik kebencian dalam hati Ale setelah apa yang menimpa pada kakak gadis itu.

Ale mendekat dan Jean tidak mau bersusah payah untuk menyapanya dengan ramah seeperti biasa. Toh, Jean pikir dia tak memiliki alasan apapun untuk menggaet perhatian gadis itu lagi.

"Ngapain Kakak disini?" Pertanyaan yang terkesan kasar bagi mereka dua orang yang sudah lama tak bersua. Tatapan Ale langsung tertuju pada barang ditangan Jean. "Kakak mau ketemu sama abang aku?" Lanjutnya, mempertanyakan apa maksud dan tujuan Jean ditempat ini.

Jean menghembuskan napasnya secara kasar. "Tadinya, sih, begitu." Sebelah alis Ale terangkat mendengar jawaban rancu dari Jean.

"Aku pikir Kakak gak perlu lagi temuin abang aku. Kalian udah putus, 'kan? Akan lebih baik abang aku gak lagi berhubungan sama kamu dibanding dia terus tertekan. Lihat sekarang! Abang aku terluka gara-gara kamu." Ale terlihat begitu emosi, amarah terpancar jelas dikedua matanya --seolah Jean telah membangkitkan setan dalam dirinya.

Harusnya Jean tahu kalau dia akan mendapat sambutan begini jika yang ia temui adalah seorang Ale. Gadis yang melupakan sopan santunnya saat berhadapan dengan dirinya, seperti biasa. Tapi kenapa Jean masih saja tetap merasa tersulut emosi saat mendengarnya? Bukankah seharusnya hatinya sudah lebih kebal?

"Ale, apa yang aku lakuin saat ini hanya sebagai bentuk pertanggung jawaban. Aku sama abang kamu emang udah putus tapi bukan berarti kemanusiaan aku hilang buat dia. Gama begini gara-gara adik aku, aku pikir kamu cukup pintar untuk hal seperti ini tanpa perlu dijelasin?"

Ale tersenyum miring. "Itu cuman alasan. Kenyataannya kamu masih cinta, 'kan, sama abang aku? Kamu sakit hati karena liat abang aku sama kak Dea didalem sana!" Oh, sepertinya Ale benar-benar ingin melihat tanduk Jean seperti apa.

"Dea juga mantannya, 'kan? Terus kenapa kamu gak perlakuin Dea sama seperti kamu bersikap sama aku? Kenapa kamu gak marah-marah juga sama dia karena dulu nyakitin abang kamu? Apa karena Dea kasih kamu tas baru? Uang jajan?" Gadis itu mengepalkan tangannya dengan erat, merasa tersudut oleh pertanyaan yang dilayangkan Jean.

Lembayung Senja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang