Lembayung Senja (TAMAT)

Lembayung Senja - 34. Untaian Bunga Canda

Acara ulang tahun Dea digelar dengan cukup meriah serta dihadiri oleh keluarga besar, teman dan juga murid-murid Dea yang turut diundang untuk memeriahkan acara. Taman belakang rumah yang luas telah disulap yang tadinya hanya rerumputan hijau dan pohon palem, kini penuh oleh balon berwarna emas dan silver. Terdapat sebuah panggung dengan kue bertingkat dimana nantinya akan menjadi tempat Dea ketika tiup lilin berlangsung. Sebenarnya Dea agak malu dengan perayaan seperti ini mengingat dirinya bukan lagi anak kecil yang memerlukan pesta dengan penuh balon warna-warni, baginya makan bersama saja sudah cukup.

Hanya saja Dea tak kuasa untuk menolak terutama melihat papanya begitu antusias saat menyiapkan acara tersebut. Jadi, apa boleh buat?

Dea baru keluar dari kamarnya setelah ia dirias. Dengan gaun berwarna goldnya, Dea terlihat cantik dan sukses membuat Theo yang menunggu terpukau. Ya, semenjak kejadian itu hubungan mereka untungnya tak merenggang begitu jauh karena bagaimanapun juga mereka telah bersahabat sejak kecil, Dea pikir akan sangat kekanakan jika hubungan mereka buruk begitu saja --meskipun rasa canggung tetap ada tapi semuanya baik-baik saja. Ya, Dea harap.

Dea tersenyum manis, sesekali membenarkan gaunnya lalu menatap Theo yang juga memerhatikannya. "Gimana?" Tanyanya, meminta pendapat seperti biasa seraya memutar tubuh.

Pria itu tertawa kecil dan menganggukan kepalanya. "Cantik. Cantik banget!" Pujinya tak berbohong, karena demi apapun Dea sangat cantik hari ini.

Perempuan itu tersenyum malu seraya merangkul lengan Theo. "Bisa aja! By the way, kamu juga keren banget hari ini. Jasnya ... aku suka." Theo menautkan sebelah alisnya lalu berdehem singkat.

"Thank you. So ... kita pergi sekarang?" Dea mengangguk mantap, keduanya lantas melangkah beriringan menuju tempat acara akan dimulai.

Tepat setelah Dea muncul didepan banyak orang, para tamu seketika memberikan tepuk tangan dan sorakan terutama para muridnya yang memuji Dea hingga membuatnya tertawa. Para remaja yang selalu bisa membuat moodnya membaik itu terlihat sangat senang saat dia mengundangnya ke acara ini, jadi Dea harap mereka mendapat pelayanan yang baik.

"Cantik banget, Kak Dea!" Ale yang sedang duduk tak kuasa menahan kekagumannya, gadis itu terlihat memandangi sosok Dea dengan penuh binar membuat Mahes yang duduk disampingnya hanya menautkan alis. "Coba aja kalo bang Gama kesini, dia pasti kagum juga sama kecantikan Kak Dea."

Kalimat terakhir yang gadis itu lontarkan berhasil mengusik Mahes. Pemuda itu lantas meliriknya sebal lalu berdecih, "Maksa banget!" Cetusnya, membuat Ale seketika menoleh.

"Ada masalah?"

Mahes menggedikan bahu. "Mau secantik apapun dia, abang lo tetep gak akan suka. Gak usah maksa, sih. Orang abang lo cinta mati sama kakak gue," kelakarnya diakhiri senyuman puas.

Ale jelas tak terima. Gadis itu seketika menghadap pada Mahes seraya menatapnya tajam. "Gue gak peduli. Gue tetep gak akan dukung abang gue sama cewek bar-bar kayak kakak lo. Abang gue ganteng dan pinter, jadi dia harus punya pasangan yang cantik dan anggun juga!"

"Lo pikir masalah perasaan bisa dipaksa? Mau kakak gue badannya keker kayak binaragawan juga kalo abang lo cintanya sama dia ya lo bisa apa? Kekanakan banget," selorohnya diakhiri decakan yang membuat emosi Ale semakin tersulut.

Kalau dulu Ale sangat mendambakan seorang Mahes karena ketampanan dan juga ketegasannya, maka kini Mahes tidak lebih dari seseorang yang menyebalkan dimatanya. Terlebih setelah Ale tahu Mahes adik Jean, dia marah sekaligus tak terima karena selama ini pemuda yang dia kagumi adalah adik dari seseorang yang dirinya tak suka. Selain itu, Mahes juga jadi sering sinis kepadanya karena tahu Ale tidak menyukai kakaknya.

Perdebatan dua anak muda itu terpaksa terhenti ketika pemandu acara naik ke panggung dan mulai bersuara. Mahes kembali fokus menatap kedepan begitu juga dengan Ale. Mereka terlalu tahu diri untuk tidak merusak acara orang.