Lembayung Senja - 36. Bias Makna yang Terpendam

4K 290 3
                                    

Egois. Menyebalkan. Si paling sok pintar. Pick me.

Kata-kata itu yang akhir-akhir ini sering Ale dapatkan dari orang disekitarnya. Semua itu bermula pada saat mereka sedang mencari kelompok untuk tugas praktik dan Ale tahu betul bahwa disaat seperti itu, teman sekelasnya akan berebut untuk memasukan dirinya menjadi bagian kelompok mereka. Ale sebenarnya kurang suka jika kelompok dibentuk secara asal dibanding dipilih oleh guru sendiri, karena sepengalaman Ale sendiri dia yang selalu banyak bekerja dan berpikir sedangkan mereka hanya mau enaknya saja, tahu-tahu nilai bagus. Jelas Ale merasa keberatan karena dia dirugikan.

Jadi, Ale yang kebetulan menjabat sebagai sekretaris kelas langsung saja menuliskan namanya dan memasukan teman sekelas yang menurutnya bisa diandalkan, sehingga saat berbagi tugas menjadi gampang mengomunikasikannya. Keputusan tersebut membuat Ale dicecar oleh sebagian besar anak dikelasnya, mereka mengatakan kalau Ale sengaja mengambil semua anak pintar karena dirinya tidak mau rugi, ada juga yang marah dan bilang kalau Ale pilih-pilih dan tidak mau berteman dengan mereka yang tidak pintar.

Awalnya Ale santai saja dan menganggap cercaan itu sudah biasa dia dapatkan, toh, memang selama ini dia juga merasa dirugikan. Ale tidak masalah satu kelompok dengan mereka yang tidak pintar asalkan merekanya tahu diri dan tidak menjadi beban, bukan maksud pilih kasih atau apa. Tapi lama kelamaan cacian itu semakin memburuk setelah ditugas pertama, kelompoknya mendapat nilai terbaik dari guru mata pelajaran.

Ale mulai dibully secara verbal dan nonverbal, mejanya dicoreti bahkan sempat ditumpahi saus sambal diatas bangkunya, menumpahkan tipe-X sehingga rok Ale menjadi kotor secara permanen. Dia disindir setiap hari dan ada yang terang-terangan mengatainya tepat didepan muka. Semua itu Ale dapatkan selama kurang lebih empat hari lamanya, dan semakin lama Ale semakin tidak nyaman --bahkan sedikit takut ketika datang ke sekolah.

Ia yang awalnya berani melawan jadi tidak bisa berkata-kata ketika yang menyerangnya bukan hanya anak gadis melainkan juga laki-laki. Para anak nakal dikelasnya terus mengganggunya, mulai dari menarik rambut, menempelkan permen karet ke seragam, dan yang paling membuat Ale merasa trauma adalah disaat mereka menyentuh payudaranya. Jelas hal itu sudah masuk ke dalam kasus pelecehan, tapi tidak ada yang menolongnya karena mereka pun takut mendapat masalah.

Ale diancam untuk tidak mengadu dan dalam waktu kurang dari seminggu, Ale menjadi orang bodoh begitu saja. Jangankan untuk melawan, melindungi dirinya sendiripun dia tidak bisa. Setiap hari ketakutan sampai bicara pada orang tuanya pun dia tidak berani karena cemas orang tuanya akan menganggap bahwa Ale lemah karena tidak bisa menjaga kehormatannya sendiri sebagai perempuan. Semua masalah itu membuat Ale merasa frustasi dan tidak bisa fokus pada pembelajaran.

Siang ini saat jam istirahat kedua, Ale terduduk sendirian didalam kelasnya dan menikmati bekal yang sengaja dia bawa karena tidak mau pergi ke kantin. Suasana kelas yang sepi membuatnya merasa jauh lebih tenang dan tak merasa terintimidasi, setidaknya dia harus mengisi perutnya agar tidak lemah secara fisik.

Sayangnya ketenangan itu tak bertahan lama ketika tiga orang pemuda masuk ke dalam kelas dan membuat Ale menjadi tegang seketika. Nasi goreng yang baru masuk tiga suap itu menjadi terasa hambar dan sulit untuk ia telan tatkala mereka mendekat ke arahnya, disertai senyuman mengerikan yang membuat Ale merinding.

"Wih, makannya enak banget, nih, kayaknya si Cantik. Pantesan gue gak liat dikantin, taunya makan dikelas." Juno, salah satu pemuda itu berkata diakhiri kekehannya lalu mencomot potongan timun dari dalam kotak makan Ale.

Andre ikut tertawa pelan. "Takut diminta kali, makanya makan diem-diem. Iya, gak, Le?" Ale menggigit bibir bawahnya, dia terus menundukan pandangan tanpa berniat untuk membalas omongan mereka.

El, si yang paling tinggi diantara mereka menarik salah satu bangku hingga duduk disamping Ale. Pemuda berkulit sawo matang itu menopang kepalanya seraya menatap Ale dengan lekat, lantas dia colek dagu gadis itu membuang Ale langsung menepisnya.

Lembayung Senja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang