Part 22. Menemui Herman

5.8K 342 39
                                    

Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Jika Allah menghendaki hati orang itu tergerak, tidak ada yang tidak mungkin.

-Takdir Sang Ilahi-

°°°

Cuaca pagi hari terlihat mencerahkan, dengan senyum manis yang terpatri pada seorang gadis bergamis serta hijabnya yang menutupi bagian kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cuaca pagi hari terlihat mencerahkan, dengan senyum manis yang terpatri pada seorang gadis bergamis serta hijabnya yang menutupi bagian kepala. Sebuah rantang makanan yang berisi jenis ikan serta nasi yang sudah Alifah masak sedari tadi.

Bibirnya sedikit tertarik membentuk senyuman kecil, melihat rantang makanan yang sudah ia persiapkan. Entah kenapa, ada sebuah harapan jika ayahnya bisa menerima makanan ini. Sudah seminggu berlalu, ia ingin mengunjungi sang ayah dan melihat keadaannya di sana.

"Semoga ayah suka," ucap Alifah menyakinkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Sesaat itu, Alifah mengambil paper bag untuk memasukkan rantang makanan tersebut. Bersamaan dengan itu, umi Fatimah datang menghampiri Alifah. Beliau, sudah tahu jika Alifah akan menemui Herman di penjara, dan umi Fatimah sudah mengizinkan hal itu. Bagaimana pun, Herman tetap lah ayah biologis dari Alifah. Meski dia tidak pernah menganggap Alifah sebagai anaknya.

"Udah selesai, nak?"

Alifah melihat ke arah umi Fatimah. "Udah, umi. Dan Ifah juga udah buatin makanan untuk keluarga ini juga."

"Kamu harusnya gak perlu masak banyak, nak."

"Gapapa, umi. Sekalian aja"

"Yasudah, kamu mau berangkat kapan? Biar diantar ya."

Alifah langsung menggeleng. "Gak usah di antar, umi. Ifah, mau naik ojek aja."

Umi Fatimah menghela napas pelan. "Ya udah, tapi hati-hati! Kalau ada apa-apa hubungi ponsel yang umi kasih semalam ya."

Alifah mengangguk. Ia sangat sungkan jika merepotkan banyak orang. Dan soal ponsel itu, Alifah tidak pernah menggunakannya untuk dirinya sendiri. Karena bagaimana pun ponsel itu milik umi Fatimah.

"Alifah mau berangkat dulu ya, umi. Assalamualaikum" Alifah lantas mencium punggung tangan umi Fatimah.

Umi Fatimah mengelus kepala Alifah yang tertutup hijab dengan lembut. "Iya, nak. Waalaikumsalam."

Alifah mengambil paper bag tersebut, lalu menyunggingkan senyum ke arah umi Fatimah. Sesaat itu, kakinya melangkah keluar dari rumah ndalem utama. Sementara umi Fatimah, tersenyum hangat melihat Alifah yang terlihat sangat antusias dan tulus membuat makanan itu untuk seorang pria yang selalu memberikan kekerasan terhadap Alifah. Sosok ayah yang tidak pernah memberikan perlindungan, tetapi justru memberikan luka yang mendalam di hati gadis sebaik Alifah.

***

Di sebuah tempat dengan pencahayaan yang temaram dan udara napas yang tak seulas di luar, terlihat tubuh yang semakin mengurus serta pipi yang terlihat tirus. Jenggot serta kumis yang terlihat tak terawat.

Takdir Sang Ilahi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang