SERAMBI KISAH

65K 4.3K 535
                                    




"Apa katamu?" Wanita itu menoleh, meletakkan pisau di atas talenan guna menatap putrinya. Berjalan mendekat dengan kedua alis bertautan serius. "Coba ulangi lagi. Kamu bilang apa barusan?" tanyanya.

Gadis itu mengerjap datar. Mengulang perkataannya dengan tenang. "Aku baru telpon tim WO, Venue sama tim make up, kubilang ke mereka kalau pernikahannya batal. Jadi mereka bisa terima job lain hari itu," terangnya. "Aku juga udah nanya soal refund, tapi mereka jawab DP-nya nggak bisa balik soalnya--"

PLAKK

Kalimatnya terhenti ketika sebuah tamparan mendarat sukses di pipi. Membuat tubuhnya terhuyung ke kanan, menunduk sejenak sebelum mengepalkan tangan dan mendongak lagi. Menarik napas panjang lantas mengulang perkataannya tanpa setitikpun perubahan di mimik wajahnya. Dengan nada setenang tadi, ia meneruskan. "Aku udah batalin semuanya, Buk. Nggak akan ada pernikahan bulan depan. Udah kubilang aku nggak bercanda."

Dan lagi. Tangan wanita beranak dua itu terangkat, hendak melayangkan tamparan seperti sebelumnya, seandainya sang suami yang sejak tadi terduduk di sofa tak lekas berdiri, menengahi. "Bu, sudah."

"GILA ANAKMU INI!" seru sang ibu dengan wajah murka. Tampangnya yang anggun memerah ketika berujar ketus, tak lagi bisa sabar seperti sebelumnya. "Nggak dengar kamu, dia bilang apa barusan?!"

"Dia pasti capek habis pulang kerja," bela si ayah, mendorong bahu sang istri mundur, melirik putrinya yang masih termenung di belakang, memegangi pipinya. "Masuk kamar. Bapak tahu kamu cuma--"

"Aku nggak suka lagi sama dia," kata Mahika tegas. Menurunkan tangan dan menatap kedua orangtuanya sungguh-sungguh. "Aku muak ngelihat muka Mahesa. Gimana bisa aku nikah sama laki-laki yang ngelihatnya aja aku nggak sudi?"

"TUTUP MULUTMU SEBELUM IBU PUKUL KAMU LAGI!"

Gadis itu mengatupkan bibir, sedang sang ayah mendesah panjang. "Wajar ada pertengkaran menjelang menikah. Kamu nggak bisa sedikit-sedikit minta batal begitu. Semua undangan sudah di sebar, nduk."

"Aku nggak mau nikah sama dia, Bapak."

"Kenapa?" tanya sang ayah. "Ada masalah apa? Bilang sama Bapak."

Bagaimana bisa ia bicara soal pengkhianatan yang ia terima? Bagaimana mungkin ia pamerkan luka dan penghinaan besar ini di depan kedua orangtuanya? Bagaimana?

Cukup ia malu menghadapi dirinya sendiri beberapa malam terakhir ini. Rasanya, ia tak akan mampu menatap mata Ayah dan Ibunya lagi, apabila mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Mahika menggeleng, meremas ujung roknya. "Aku ngerasa nggak cocok sama Mas Esa. Kalaupun kami teruskan, kami akan berakhir cerai nggak lama setelah menikah."

Dan itu benar. Mana mungkin ia tahan serumah dan sekasur dengan lelaki yang telah menyakitinya sedemikian rupa? Membayangkan lelaki itu masih hidup dan bernapas di satu dunia yang sama dengannya saja sudah cukup menyiksa. Mahika tak akan sanggup melakukannya. Bahkan sehari pun tidak.

"Aku udah kabarin keluarga Mas Esa tadi. Mereka akan ngerti. Jadi, aku harap Ibu sama Bapak juga paham--"

"DIAM!" bentak si Ibu lagi, enggan mendengar. "Diam kamu." Ia menunjuk rupa sang putri dengan emosi. "Jangan bicara lagi atau ibu hajar kamu sampai--"

"Sudah," pria itu memotong. "Perkataan seorang ibu itu mustajab. Jangan kamu sumpahi anakmu atau kamu sendiri yang akan menyesal nanti. Diam."

Gadis itu menghela napas panjang, menegaskan sekali lagi sebelum pergi. "Aku udah batalin semuanya. Aku nggak akan nikah sama dia. Nggak ada yang bisa merubah keputusanku." Ia mengakhiri perkataannya lantas balik badan. Berjalan tergesa-gesa menaiki anak tangga, meninggalkan ayahnya yang membisu, memegangi dada. Juga sang ibu yang berseru mengatakan betapa gila dirinya saat itu.

Ya. Barangkali selama dua puluh dua tahun hidup di dunia, ini adalah kegilaaan pertama yang ia lakukan dengan sadar. Dan Mahika yakin, ia tak akan pernah menyesalinya.








******











Sedjati akan mengutuk rasa malasnya seumur hidup apabila pameran kali ini tak lancar lagi!

Bedebah nian dirinya. Tinggal tiga lukisan sebelum seluruh galeri terisi, tapi ia justru kehilangan mood di tengah jalan!
Ini seperti ia tengah balapan, tapi sepuluh meter sebelum ia tiba di garis finish, mendadak bensin mobilnya habis! Pita kemenangan sudah melambai-lambai di depan mata, dan ia hanya bisa terpana menyambut kekalahannya. Maju tak bisa, mundur apalagi.

Hah! Setan alas!

Bahkan berpetualang sendiri ke Paris juga tak membantu kali ini. Isi kepalanya seperti menolak diajak kerjasama. Betul-betul macet. Imajinasinya tak kunjung kembali sekalipun ia ribut menjambaki rambut sepanjang malam.

Belum lagi tekanan untuk pulang ke tanah air sebab masa pencalonan periode kedua ayahnya akan segera dimulai tahun depan.
Ini akan terdengar aneh, tapi Djati harap ayahnya kalah. Lelah rasanya jadi anak Presiden. Ia rindu masa-masa dimana bapaknya masih jadi pengusaha biasa. Ia ingin kembali ke waktu di mana keluarganya bisa makan malam bersama tanpa khawatir ada perdebatan politik di meja.

"Masmu nggak bisa pulang, Djiwa juga kemarin ijin, katanya bulan depan mau nyusulin pacarnya ke luar negeri. Mama sama siapa di rumah nanti?"

Djati menggoreskan kuasnya ke kanvas lantas mendesah, tersenyum tipis sebelum membalas. "Ya udah, Ma. Mas Djati pulang lusa. Tunggu, ya?"

Tampaknya usaha ini sia-sia. Mungkin, ia memang ditakdirkan menunda pamerannya setahun lagi untuk memastikan semuanya sempurna. Yah ... Jika memang harus demikian, apa mau dikata?

Lelaki itu meletakkan kuasnya kemudian berdiri. Beruluk salam mengakhiri panggilan. Masih bertelanjang dada, ia berjalan menuju jendela untuk menyibak tirai hotel lebar-lebar, membukanya. Menatap langit malam Paris dengan napas terhela panjang. Mengerjap kalem lalu balik badan. Bergegas mengemasi barang-barangnya ke koper.

Kalau ibunya sudah berkata pulang, maka itulah yang akan ia lakukan.











****






Halow! Selamat datang di dunia Gustipradja!🥳🥳 Hehehe

Aku tahu banyak yang nggak menduga Mas Djati debut duluan. Tapi disini, asal kalian tahu saja, timeline cerita Mas Djati hampir sama kayak timeline cerita Mas Ka-Bia. Jauhhh sebelum Mastha digebukin Jena di malam pertamanya😭.

Oiya, untuk yang baru nemu cerita ini, kalian bisa langsung baca NPH tanpa mampir di cerita sebelumnya kok (meskipun akan lebih enak kalau kalian baca yang lain dulu, tapi kalaupun enggak juga nggak masalah) Berhubung kita akan masuk ke keluarga baru, kuusahakan kalian nggak akan sebingung itu kalau langsung cuss ngikutin Mas Djati duluan.

Cerita ini nggak akan seberat sebelumnya, tapi juga nggak akan seringan itu. Semoga kesotoy-anku untuk pelan-pelan menulis cerita bergenre kehidupan tidak segagal yang kutakutkan😅

Seperti biasa, aku hanya datang untuk memamerkan cerita selanjutnya. Cerita ini baru akan benar-benar dimulai bulan depan. Antara tanggal 1 atau tanggal 5 ya kawan-kawan. Tungguin!

Sampai jumpa bulan depan! Sehat selalu semuanya!🥰









Salam, Cal.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang