"Lo ini lagi ngomong apa kumur-kumur sih, goblok? Nggak jelas!" tukas Djati, memotong perkataan Djiwa yang tengah bicara panjang lebar di depannya dengan nada galak. "Yang bener!"
"Ini gue udah bener, kuping lo makanya dipake dong, ah!" sahut Djwa tak terima. "Dengerin, gue ulang sekali lagi oke?" ujarnya sungguh-sungguh. Mengatur napas dan mulai menjelaskan dari awal. "Jadi di dalam, ada cewek yang lagi butuh bantuan. Dia itu cucunya yang punya gedung sebelah. Kayak yang gue bilang tadi, dia butuh tempat tinggal deket-deket sini buat mantau renov rumah di belakang resto, dan itu nggak lama. Jadi karena di atas kita punya dua kamar--"
"Dua kamar ndasmu! Itu tempat istirahat sama tempat gue ngelukis!" potong Djati lagi, tak sabaran.
"Yang satunya,"
"Musholla!"
"Nggak, yang depan musholla."
"Ya itu tempat gue tidur, goblok!"
Djiwa mengelus dada. "Lo kan bisa tidur di tempat ngelukis dulu sementara waktu."
"Haaah!" teriak Djati tak mau tahu. "Nggak ada! Mana bisa numpang-numpang seenaknya? Ini tempat kita bangun buat ngumpulin duit, bukan buat ngumpulin cewek nggak jelas yang lo temuin di jalan."
"Dia bukan cewek nggak jelas, Djat. Dia itu yang punya bangunan sebelah." Djiwa kembali menjelaskan, khawatir kakaknya salah paham. "Icha juga kenal sama dia, kok. Itu anak baik-baik, lo belum lihat aja makanya gitu."
Kebetulan, tadi Mahika kabur tepat sebelum Djati turun dari motor. Entah kenapa, Djiwa juga tak mengerti. Barangkali ia malu, atau bisa jadi juga grogi. Entahlah. Yang pasti Djati memang belum melihat Mahika sepenuhnya.
"Dia lagi ada masalah dikit. Oh iya, sebenarnya dia itu ..." Djiwa menyentuh lengan Djati pelan, berbisik-bisik, menerangkan sebisanya tentang latar belakang yang ia ketahui tentang Mahika. "...gitu," ucapnya mengakhiri.
"Haaah! Nggak peduli. Mau putri keraton, mau putri keratin, sebodo amat. Suruh dia minggat!"
"Ya elah, Djat. Cuma seminggu doang," bujuk Djiwa lagi. Memelas sembari mengerjap-ngerjapkan mata. "Mas," rayunya. "Please. Seminggu doang, suer!"
"Ngomong sekali lagi gue hajar lo!"
Djiwa langsung mingkem seketika. Menutup mulutnya rapat-rapat seraya melepas pegangannya pada sang kakak, mundur selangkah dengan gurat ngeri. Meski eksteriornya tampak kalem, tapi Djati ini tipe orang yang kalau sudah mukul susah berhenti. Dibanding kakak pertamanya, amukan Djati seribu kali lipat lebih bahaya. Sebab kesabaran Djati setipis benang dibelah tiga. Berhati-hatilah.
"Suruh dia cari hotel kalau cuma seminggu. Nggak ada numpang-numpangan. Enak aja."
"Dia lho rakyatnya Papa juga," ujar Djiwa pelan, kembali menutup mulut saat Djati membalas ketus.
"Ya kalau gitu suruh aja Papa yang nampung. Urusan apa sama gue!" bentak Djati kesal. "Lagian lo ini nggak ada otaknya! Itu perempuan, anak gadis orang kalau kenapa-kenapa selama disini emang lo bisa tanggung jawab ke bokapnya, hah?! Kalau tiba-tiba dia ilang, diculik, sakit, mati, atau hamil, lo bisa jelasin ke orangtuanya?"
Djiwa geleng-geleng kepala.
"Kalau gitu suruh dia pergi."
Djiwa menggeleng. "Nggak tega, demi Allah," katanya. "Lu aja yang ngomong, kan elu yang nggak ngasih ijin," usulnya.
Djati berdecak, mengangkat kepalan tangan di depan muka kembarannya dengan geregetan. Meski ujung-ujungnya tetap saja ia tak tega memukul Djiwa. "Elo yang ngundang masalah, kenapa harus gue mulu yang beresin!" Ia balik badan, meninggalkan Djiwa untuk bergegas memasuki bengkel, berniat mengusir penumpang gelap dari tempat usahanya secepat mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi patah hati
RomancePernikahan yang ada di depan mata hancur berantakan dalam semalam. Mimpi, cinta, usaha dan segala hal yang selama ini ia tapaki seolah runtuh bersama dengan pengkhianatan yang ia terima. Mahika tak pernah menyangka hidupnya yang adem ayem akan menca...