9. Ternyata tidak mudah

20.8K 3.7K 1K
                                    






"Mmm ... jadi ... Mas Djati ..." gumamnya pelan, melirik Djati yang menatapnya sejak tadi. Menanti perkataannya dengan sabar. "...nggak punya pacar?"

Lelaki itu menggeleng. "Belum."

Mahi mengerjap-ngerjapkan mata. "Nomor telpon yang pakai emot love itu Mamanya Mas betulan?"

Djati mengiyakan. "Kamu mau aku telpon Mamaku lagi kayak kemarin malam buat memastikan?"

"Nggak!" tolak Mahi segera. Geleng-geleng panik. "Nggak usah," ujarnya, menggerak-gerakkan tangan dengan ribut. "Nggak perlu." Ia berdiri dari duduknya begitupun Djati yang lekas menyusul. "Maaf aku udah banyak ngomong kemarin malam, Mas." Mahi mendongak, menatap Djati dengan sesal yang besar. Teringat segala cerocosannya pada lelaki ini sungguh membuatnya tak punya muka untuk muncul seharian kemarin. Ini saja, ia harus mengumpulkan keberanian dulu baru berani melangkah dengan percaya diri ke bengkel lagi.

Mahika belum pernah semalu ini sepanjang hidupnya. Bahkan gagal menikah pun rasanya tak seperti ini. Mahi malu sekaliiiii!

"Nggak apa," kata Djati tenang. "Jadi ..." Lelaki itu melangkah lebih dekat, menyisakan jarak yang tak seberapa lebar diantara dirinya dan Mahika kala meneruskan. "...telponku nanti malam akan di angkat, kan?"

"Aku nggak suka telponan," gumam Mahi serius. "Aku nggak bohong soal itu."

"Kalau video call?" tawar Djati, belum menyerah. "Nggak akan lama. Lima menit sebelum kamu tidur aja. Bisa?"

"Aku ... nggak tahu harus ngomongin apa sama Mas Djati tiap malam," jawab Mahi lagi, berbisik-bisik lirih. "Kita nggak sedekat itu, kan?"

"Justru karena kita belum sedekat itu," sahut Djati lembut. Menyentuhkan ujung jemarinya dan ujung jemari Mahika perlahan. "Kamu nggak perlu ngomong. Aku merasa baik-baik aja meskipun kita nggak ngobrol," katanya. Sedikit demi sedikit menggenggam tangan Mahika hingga jemari mereka bertautan sepenuhnya. "Hm?" pintanya. "Boleh aku minta waktumu lima menit sebelum tidur?"

Mahika menelan ludah, menatap tautan tangan mereka cukup lama sebelum menganggukkan kepala.

Senyum tipis terkulum di bibir Djati ketika Mahika mendongak, membalas tatapannya. Keduanya saling pandang cukup lama hingga sebelah tangan Djati yang menganggur terulur, menyentuh kepalanya.

Tidak ada kata yang mereka bagi setelah itu. Keheningan mengurung keduanya lama sekali, entah berapa lama tepatnya. Yang pasti dari sana Mahika tahu ... oh, ya. Tentu.

Rupanya selama ini, jantungnya berdegup bukan karena lapar atau penyakit tertentu. Ternyata, Djati lah alasannya. Djati lah yang membuat jantungnya jadi nakal beberapa waktu belakangan. Benar, Djati penyebabnya.













****














"Vivi! Victoria!"

"Ooh, i see. Iya-iya, oke. Ntar gue kabarin lagi benarnya gimana." Perempuan itu menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar namanya di sebut. Ia melambatkan langkah, menoleh ke belakang guna memastikan, yang tengah melambaikan tangan beberapa meter darinya memang benar sosok yang ia kenal. "Ang, nanti gue telpon lagi." Ia sepenuhnya mematikan panggilan. Memasukkan ponselnya ke tas lalu gergegas memacu langkahnya mendekat pada wanita yang tengah tersenyum lebar tersebut. "Tante Mira?" sapanya kaget. "Ya ampun, Tanteeee! Iih, lama banget nggak ketemuuu."

"Ampun anak ini, daritadi di panggil-panggil susah banget nengoknya!" seru Mira Gustipradja berdecak, menepuk pelan bahu perempuan di hadapan lantas memeluknya erat. "Aduh, kangen banget." Wanita itu mengusap punggung si perempuan muda yang menunduk, menyejajarkan tubuh mereka. "Ya Allah, kangen banget Tante sama kamu," ulangnya dengan hangat. Tak sungkan-sungkan mencium kedua pipinya bergantian. "Kapan pulang kamu, nak? Sama Mama Papa juga?" tanyanya lagi, menggandeng lengan perempuan muda nan cantik itu ke pinggiran, menghindari lalu lalang pelayan yang lewat di restoran keluarga tersebut.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang