3. Tergerak

24.5K 3.8K 617
                                        





Dan ya, mungkin memang ini yang Ibunya rencanakan sejak awal. Mahika tahu, tak mungkin Ibunya adem ayem dan membiarkannya damai sejahtera setelah ia minggat dari rumah. Situasi macam inilah yang Bu Hayu pikir akan membuat Mahi menyerah dan pulang, lalu mengikuti semua kemauannya soal pernikahan seperti semula.

Pawon Simbah mutlak akan jadi fase kedua dari siklus patah hati yang harus Mahika hadapi dengan tabah. Sejak kali pertama membuka paksa gerbang setinggi pinggang dibantu Djiwa, Mahika langsung sadar betapa buruk keadaannya saat itu. Oh, buruk sekali. Sulit didefinisikan dengan kata-kata saking buruknya.

Bangunan luas tak terawat itu sungguh tidak bisa ditempati. Jangankan untuk berjualan, kru pencari setan saja kemungkinan besar akan menghindar dari tempat berbahaya seperti ini jika tak ingin tiba-tiba ketiban plafon seperti apa yang Mahika alami barusan. Gadis itu berjingkat, nyaris jadi penyet manusia apabila Djiwa tak sigap menariknya saat atap ringkih di bangunan itu ambruk mendadak. Tubuh Mahika selamat dari marabahaya, tapi mentalnya tidak.

"Nggak apa-apa?" tanya Djiwa panik.

Mahika manggut-manggut, bangkit dari pelukan lelaki itu sembari mengusap dada. Tersenyum legowo seraya membalas dengan ikhlas. "Nggak apa-apa, Mas. Cuma agak gila sedikit." Ia mendongak dan ketawa getir melihat atap Pawon Simbah yang kini bolong. "Hehehe, bolong." Tunjuk Mahi pahit, senyumnya macam terdakwa mati yang sedang makan soto babat untuk terakhir kalinya sebelum dihukum penggal. Ironis sekali.

"Kamu betulan nggak apa?" tanya Djiwa sekali lagi, tampak ngeri. Dan seperti sebelumnya, gadis itu menganggukkan kepala.

Yah. Mau diratapi sebanyak apa pun juga, keadaan tetap tak akan berubah. Beginilah masa depan yang harus ia terima. Jadi dibanding terus-terusan menyalahkan situasi, Mahika memilih pelan-pelan berdamai, mencoba menenangkan diri. Barangkali dengan begitu, ia bisa lebih mudah menjalaninya. Baiklah. Mari kita coba!

Umur boleh muda, pengalaman boleh minim, tapi ia tetaplah seorang Diajeng Mahika Lakshmidevi Haryokusumo. Ia adalah cucu sulung dari Raden Mas Soemoyo Haryokusumo, penggagas bisnis batik dan rumah makan kelas atas yang berjaya pada masanya. Darah pebisnis hebat mengalir deras di nadinya. Sungguh, satu kemalangan ini tidak akan membuatnya menyerah.

Taktik Ibu untuk membuatnya pulang tak akan Mahi realisasikan. Apapun yang terjadi, ia akan bertahan di sini meski harus ketiban plafon sekali lagi!

"Mas Djiwa mau temenin aku masuk, nggak?" tanyanya, langsung dibalas anggukan pelan oleh lelaki itu.

"Hati-hati, awas ada pakunya." Lelaki itu mengulurkan tangan, membantu Mahi melewati plafon yang rubuh tadi. Melanjutkan perjalanan memasuki Pawon Simbah lagi.

Biar Mahika beri sedikit gambaran soal tata letak Pawon Simbah terlebih dulu.
Pawon Simbah memiliki tanah yang dua kali lipat lebih luas dari bengkel milik Djiwa. Bangunannya bergaya Jawa kuno dari ujung ke ujung, berbentuk ngantung. Tampak kecil di luar, namun luas di bagian dalam.

Setelah lewat gerbang setinggi pinggang, mereka masih harus berjalan beberapa meter demi mencapai undakan menuju pendopo. Dua patung pengantin yang tampak seram duduk di masing-masing sisi pintu. Masuk ke pintu itu, mereka langsung disambut dengan tulisan 'Sugeng rawuh, sugeng dhahar'.

Ada sebuah meja kokoh, beserta alat-alat kasir yang masih lengkap di depannya. Mahi tebak, di sana lah para pembeli biasa melakukan pembayaran usai makan. Lewat tempat pembayaran, mereka kembali disambut bagian utama Pawon Simbah yang berbentuk bangunan tanpa atap, semacam taman, namun di tengah-tengahnya terdapat kolam memanjang, sementara di kanan dan kirinya penuh dengan bale-bale yang terbuat dari kayu, beratapkan jerami solid. Setelah di hitung-hitung, jumlah bale di sana ada sekitar tiga puluhan. Lima belas di kanan dan lima belas lagi di kiri. Yang ini, Mahi tebak adalah tempat para pelanggan menikmati santapan. Kalau keadaannya bagus, Mahika bisa membayangkan para pelanggan tengah duduk santai di atas bale sambil melihat kolam ikan di tengah-tengah mereka, atau menonton aksi memasak langsung sebab bagian dapur terletak di ujung sana. Konsepnya pasti live cooking. Sebuah terobosan keren di jaman purbakala. Kakeknya sungguh visioner, rupanya.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang