Dan benar apa yang ia takutkan.
Ibunya langsung menelpon setelah sore kemarin, tampang Djati muncul di berita tengah mendampingi pidato ayahnya pada hari jadi Partai yang megah. Sekalipun hanya beberapa detik wajah Djati terpampang, berita simpang siur soal munculnya lelaki itu tetap sulit di kendalikan. Beberapa artikel harian pagi ini bahkan mencetak tebal-tebal judul yang di buat mencolok. Sebuah pro dan kontra soal keterlibatan putra presiden yang disinyalir jadi tanda-tanda beranak pinaknya era Gustipradja dalam negeri.
Sebagian besar menganggap enteng berita itu sebab belum lama Djati menyelesaikan pamerannya. Ingatan masyarakat soal Djati masih hangat berkaitan lukisannya yang menawan dan di gadang-gadang jadi salah satu pameran seni paling bergengsi tahun ini. Tapi sebagian lagi tidak.
Mahika menatap layar televisinya lamat-lamat, melihat lagi dan lagi, wajah Djati dicantumkan dalam berita pagi. Lengkap dengan narasi pembaca berita yang bunyinya, 'akankah dinasti politik terjadi dalam negeri kita yang demokratis ini?' Di sambung debat panjang orang-orang di meja news anchor yang seru. Partai itu di nilai terlalu ambisius dan grasak-grusuk dengan menyertakan anak muda minim pengalaman macam Djati. Mau jadi apa negara ini kalau di pimpin orang yang seumur hidup hanya berkutat dengan kanvas dan cat minyak. Apakah benar, sesempit itu negara kita hingga tidak bisa menemukan pemimpin yang jauh lebih berkualitas daripada anak Presiden yang tak tahu apa-apa?
Gadis itu menggigit bibirnya, berjalan mendekati televisi dan mencabut kabel yang menancap di stop kontak. Melempar kepala colokan itu sembarangan hingga layar datar yang terhubung dengannya nyaris tumbang, jatuh berhambur ke lantai jika saja Luisa tak tepat waktu menahannya.
Mahika menarik napas panjang dari mulut. Balik badan dan berjalan keluar dari ruang kerja. Pawon masih belum buka, ia melangkah meninggalkan kru dapur yang memang selalu datang lebih pagi, abai pada sapaan-sapaan yang ia dengar dan lanjut melangkah keluar. Menggenggam erat ponsel di tangannya yang sejak tadi bergetar. Duduk di bawah pohon dengan kaki berselonjor. Menghela napas panjang sebelum memutuskan mengangkat panggilan. Ibunya lagi.
"Ya, Buk?"
"Kamu lihat berita?"
Mahika menelan ludahnya yang pahit sembari mengiyakan.
"Bapakmu nggak enak badan," gumam Ibuk pelan. "Nggak tahu habis ngomongin apa sama Mas Djati malam tadi."
Mahika menunduk, tak bisa menjawab.
"Baru Mas Djati yang dibicarakan saja Bapak sudah drop, apalagi kalau kamu?"
Ia meremas ujung kebaya hitamnya, lagi-lagi sulit membalas.
"Yang namanya darah itu, Mbak, mau kamu tahan segimanapun, ujungnya pasti balik ngikutin keturunan. Buyutnya pejuang, kakeknya penggagas partai, Bapaknya pemimpin negeri. Ini cuma masalah waktu saja sampai dia ikut nyebur ke lumpur yang sama."
"Buk," ia mendesah, menoleh ke arah gerbang, dimana Djati muncul dengan raut serba salah, berjalan mendekatinya selangkah demi selangkah. "Dia cuma datang ke acara hari jadi. Nggak kurang dan nggak lebih," katanya. Menatap Djati yang tinggal beberapa langkah darinya lantas berdiri. Menatap lelaki itu lurus sembari berkata. "Nanti kutelpon lagi." Ia mengakhiri panggilan dan menurunkan ponsel dari telinga. Berjalan melewati Djati yang sigap balik badan, mengikutinya.
"Sayang,"
"Pawon mau buka. Kita ngomong nanti malam aja," penggalnya, tak sedikitpun melambatkan langkah. "Aku kerja dulu."
"Mahika," Djati menyetop langkahnya. Lelaki itu melangkah lebar-lebar dan berdiri di hadapannya. Memegangi lengannya dengan tatapan memelas. "Sebentar?"
![](https://img.wattpad.com/cover/343126830-288-k595672.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi patah hati
RomancePernikahan yang ada di depan mata hancur berantakan dalam semalam. Mimpi, cinta, usaha dan segala hal yang selama ini ia tapaki seolah runtuh bersama dengan pengkhianatan yang ia terima. Mahika tak pernah menyangka hidupnya yang adem ayem akan menca...