Desember sudah mendekati penghujung, otomatis wacana mengenai libur panjang pun mulai Djati umumkan pada seluruh karyawan.
Beberapa tahun ini, bengkel punya aturan libur yang tak pernah berubah. Djati dan Djiwa selalu memberi para karyawan hari libur sejak Natal hingga tahun baru. Tujuh atau delapan hari full. Dan biasanya, libur itu di sambut suka cita oleh segenap karyawannya. Tapi tidak demikian kali ini.
Berhubung para bujang bengkel sedang gatal-gatalnya menggoda para gadis di Pawon Simbah, mereka yang di ketuai Boy, siang itu melayangkan protes besar-besaran di depan ruang melukis Djati. Kelimanya bersatu padu, berteriak kompak dan menuntut keadilan, katanya. Merasa tidak di untungkan atas keputusan libur yang Djati umumkan lewat grup WhatsApp, mereka pun nekat mengetuk pintu Djati dan berkompromi untuk memberontak.
Karyawan di tempat lain berdemo minta libur dan kenaikan gaji, tapi karyawan di bengkel Djati dan Djiwa justru sebaliknya. Mereka angkat suara dan meminta hak untuk tetap masuk kerja di hari yang harusnya mereka di bayar full untuk ongkang-ongkang kaki di rumah.
Bukan. Bukan karena mereka loyal atau terlalu mencintai pekerjaan. Djati tahu, semua itu hanya akal-akalan busuk para anak buahnya agar bisa melipir saban hari ke restoran sebelah. Bukan main effortnya.Narasi-narasi berbunyi 'tegakkan keadilan disini!' 'Kami tidak setuju dengan keputusan sepihak mengenai hari libur bersama!' dan 'Kami menolak libur terlalu lama!' Berkumandang di kuping Djati beberapa saat hingga ia jengah.
Kesabarannya yang setipis kertas habis setelah sebuah coretan kuas melewati garis tepi gambarnya. Djati pun menolehkan kepala, menatap pintu dengan umpatan kesal. Meletakkan kuasnya dan meninggalkan lukisan Mahika nomor duanya untuk bergegas menghampiri para pembuat onar. Membuka pintu dan seketika membuat cuitan para bujang bengkel terhenti sejenak. Djati menyipit, melirik Djiwa yang geleng-geleng di samping pintunya, memberi isyarat bahwa ia juga telah berusaha keras untuk meredam massa namun gagal.
"Udah gue larang. Tapi mereka ngotot mau demo," katanya terdengar pasrah.
"Kami menolak keputusan Mas Djati!" Boy jadi orang pertama yang mengumandangkan penolakan di depan mata Djati langsung.
"Terus kalian maunya apa!?" tanya Djati, kesal karena kegiatan melukisnya terjeda.
"Kami mau masuk tanggal dua puluh lima sampai tanggal tiga puluh, Mas!" seru Boy lantang. Mengangkat tangan di depan Djati dan menoleh ke belakang, mencari dukungan. "Bukan begitu, kawan-kawaaan??"
Keempat yang lain kompak menjawab. "Betuuulll!" Bersamaan.
"Kita mau liburnya di samakan kayak Pawon Simbah, Mas!" tambah Kris dengan nada ngotot.
"Pawon Simbah cuma libur tiga hari. Dari tanggal tiga puluh satu sampai tanggal dua," ujar Djiwa, berusaha menengahi. "Kalian liburnya seminggu, lho. Lebih panjang," katanya.
"Kami menolak libur seminggu!" sahut Karto semangat.
"Kami mau tetap produktif di awal tahun!" ujar Boy serius.
"Itu benaaarrr!" sahut Kris menanggapi.
"Jangan pikir gue nggak tahu isi kepala kalian," gumam Djati geregetan. Membuat ketiga bujang yang awalnya semangat memberontak kini mundur selangkah, lirik-lirikan. "Gue puterbalikin pala kalian satu persatu kalau jelalatan melulu ke sebelah," ancamnya dengan nada santai namun mengancam.
"Sabaaar," gumam Djiwa pelan, menepuk-nepuk pundak kakaknya.
Rusdi dan Yono hanya terdiam di belakang. Menatap ketiga rekan kerjanya tanpa sepatahpun kata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi patah hati
RomansPernikahan yang ada di depan mata hancur berantakan dalam semalam. Mimpi, cinta, usaha dan segala hal yang selama ini ia tapaki seolah runtuh bersama dengan pengkhianatan yang ia terima. Mahika tak pernah menyangka hidupnya yang adem ayem akan menca...