34. Tali kekang

17.5K 3.1K 673
                                    














"Yang penting Bapak sama Ibuk jangan sampai tahu."

Djati mengangguk. Masih betah memandangi luka di lengan Mahika yang kini di bebat rapi dengan perban. Menyentuhnya perlahan-lahan sembari bertanya. "Sakit, nggak?"

"Ya sakit lah, aku kan bukan pahlawan super yang habis di tebas masih bisa terbang dan pukul-pukulan," jawab Mahi setengah bergurau. Memegangi tangan raksasa Djati yang kini menumpu sebelah lengannya yang luka, balik bertanya. "Mas luka juga nggak? Aku nggak sempet nanya kemarin, soalnya polisi dateng terus buat nanya-nanya, aku jadi nggak inget yang lain."

Djati menggeleng. "Maaf ya," cicitnya penuh sesal.

"Kenapa Mas yang minta maaf? Kan bukan Mas yang nyebetin pisau ke aku?" jawabnya lembut, menepuk-nepuk tangan Djati santai. "Nggak apa-apa. Yang penting orangtuaku jangan sampai tahu."

"Untungnya Ibuk sama Hima lagi ke Singapore buat nemenin Bapak kontrol jantung," balas Djati lirih. "Laporanmu kemarin juga di proses diam-diam, sebisa mungkin nggak akan kesebar kemana-mana."

"Baguslah," Mahika mendesah, manggut-manggut lega. "Aku cuma khawatir kalau berita ini sampai kedengeran keluargaku, nanti Bapak kumat lagi sakitnya. Mas tahu, kan?"

Djati mengiyakan. "Kebetulan waktu kejadian itu, Pawon lagi full sama anggota dewan yang lagi mampir makan setelah pulang Reses. Nggak ada pelanggan biasa. Jadi lebih gampang ngaturnya. Sejauh ini, nggak ada satupun dari mereka yang akan buka suara."

Mahi manggut-manggut lagi. Memang kebetulan sekali pada hari itu Pawon di booking penuh oleh anggota dewan. Untung saja. Jika tidak, sudah pasti berita mengenai kegaduhan di restorannya sudah wara-wiri di media sosial saat ini, apalagi ada Djati dan Djiwa di dalamnya. Sangat gampang di goreng sana-sini.

"Harusnya kita jangan lengah sama keamanan. Kayaknya kita terlalu santai karena mikir beberapa waktu ini nggak pernah ada apa-apa," gumam Djati. "Nanti aku cari orang lagi buat jaga Pawon."

"Jangan nyalahin yang jaga sekitar," ujar gadis itu lembut. "Mungkin mereka juga nggak nyangka bakal kejadian begitu. Dia datang kayak pelanggan biasa, naik mobil, turun di parkiran, jadi wajar kalau nggak ada yang ngeh dia bakal berniat jahat."

Djati mengangguk, menunduk kembali dengan hela napas panjangnya. Termenung sekian lama entah kenapa. Saking lengangnya suasana, Mahi sampai menoleh, melirik Luisa dan Djiwa yang sedari tadi duduk anteng di sofa dengan bibir bergerak tanpa suara, melayangkan tanya 'kenapa dia' pada Djiwa menggunakan isyarat, merujuk pada Djati yang tiba-tiba jadi pendiam sekali.

Djiwa membalasnya dengan gerakan bibir tanpa suara pula, yang kalau diartikan bunyinya pasti, 'Dia merasa bersalah karena kamu luka.'

Mahika pun ber'oh' sunyi. Menolehkan kepala pada Djati lagi. Menatap lelaki itu dengan raut pengertian. Tak tahan dengan kebisuan diantara mereka, gadis itu kemudian menunduk, mencari-cari arah pandang Djati lalu bertanya. "Beneran bukan Mas, kan?" Ia mengerjap penasaran. "Yang ngirim video itu ke istrinya Mas Dani, betul bukan Mas orangnya, kan?"

Djati menggeleng jujur. Kalau soal video, memang benar bukan ia orangnya. Djati masih memegang janji pada Mahesa untuk tak mengutak-atik video itu, hasil barter dengan villa keluarga Haryokusumo yang kini sudah stabil seperti sebelumnya. Kebetulan, Djati bukanlah jenis orang yang suka ingkar janji, meskipun dengan kotoran bumi macam Mahesa.

Kalau soal kasus pencurian barang antik ... ia bahkan sudah mulai malas mengurusnya. Selain karena kesibukannya mempersiapkan pameran, ia juga tahu bahwa minat masyarakat hingga saat ini belum juga pudar dari kasus keluarga Zahwandi yang meledak delapan bulan belakangan. Sekarang, orang-orang sedang tak tertarik dengan berita apapun, kecuali borok mendiang Utama Adhi Zahwandi dan semua anggota partainya. Reporter yang dulu sempat Djati hubungi pernah sekali menyenggol soal kasus barang-barang antik peninggalan keraton yang makin hari makin berkurang dalam satu episode talk show-nya. Tapi tak ada kelanjutan apapun setelah itu. Berita pencurian barang antik itu kalah pamor dan tenggelam begitu saja dengan berita-berita nepotisme dari mendiang Utama Adhi Zahwandi yang masih marak di televisi hingga kini. Dan lagi, kalau memang Djati yang ada di belakangnya, tak mungkin ia membiarkan keluarga Notoseno lolos begitu saja dengan menumbalkan Dani seorang.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang