33. Terjal

17.9K 3.1K 481
                                        







Lika-liku dalam hubungan percintaan sudah tentu mewarnai hari-hari Mahika sejak memutuskan bersama Djati. Selain restu, ada banyak hal dari kepribadian mereka yang kadangkala menimbulkan cekcok kecil maupun besar. Sengaja tidak sengaja terjadi. Sulit di hindari.

Naik turun hubungannya senasib dengan Luisa dan Djiwa. Mungkin Mahi bisa sedikit lebih bersyukur, sebab meski belum mengantongi restu dari orangtuanya, tapi Bapak dan Ibuk masih amat hangat memperlakukan Djati setiap kali bertemu.

Di momen lebaran beberapa bulan lalu, Djati bahkan berhasil mengajak orangtuanya jalan-jalan bersama Hima. Tidak tahu kemana saja mereka, Mahika tidak ikut karena sedang puyeng-puyengnya mengurus Pawon yang buka tiga hari setelah lebaran. Intinya mereka pulang dengan suka cita. Hima melompat-lompat gembira membawa boneka beruang besar yang Djati belikan, dan kedua orangtuanya kelihatan lebih hangat lagi dari sebelumnya.

Meskipun keesokan harinya saat mereka pamit pulang ke Surakarta, keduanya masih menggeleng kompak untuk menjawab pertanyaan Djati soal kapan ia di perbolehkan berkunjung ke rumah membawa keluarga. Niat mereka masih di mentahkan. Tapi paling tidak, Ibuk serta Bapak membuka lebar kesempatan bagi Mahika dan Djati untuk mencoba minta restu lain kali lagi. Pokoknya begitu terus saja sampai dapat.

Kalau di tahun pertama Mahika masih malu-malu menunjukkan perangai buruknya saat sedang ngambek, woh! Sekarang jangan di tanya. Di tahun kedua ini, Mahika jauh lebih sering pundungnya. Dan lagi-lagi Mahi harus bersyukur, sebab Djati memang sesabar itu menghadapinya. Kalau kata Luisa, seandainya terlahir kembali, kemungkinan besar Djati akan cocok jadi biksu, saking tabah, sabar dan terkontrolnya emosi lelaki itu khusus di depannya. Tolong garis bawahi kata khusus tadi, sebab itu poin pentingnya. Djati tidak sesabar itu kecuali dengannya.

Serba-serbi ngambek Mahika kalau jadi sinetron barangkali bisa di sejajarkan dengan banyaknya episode tersanjung. Saking seringnya Mahika ngambek, Djati sampai punya jadwal tetap sendiri, hari-hari rawan setiap bulan dimana Mahi di prediksi akan mencari perkara. Ngomong-ngomong soal ngambek, sekarang juga Mahika sedang ngambek pada Djati. Gara-garanya, lelaki itu sibuk sendiri beberapa waktu terakhir ini.

Dua minggu mereka tak bertemu. Djati baru pulang dari Paris, mempersiapan pameran tunggalnya yang dalam hitungan bulan akan segera terlaksana. Sebuah pameran lukisan yang Djati rancang gila-gilaan hingga sering melupakan keberadaan Mahika. Dan ketika pulang, apa yang Mahika dapatkan? Bukannya langsung datang padanya, lelaki itu malah--

"...cuma empat orang, Mas. Tolong di usahakan."

Tunggu dulu. Mahika kenal siapa itu. Orang yang wara-wiri di televisi tiap kali issue politik di perbincangkan. Seorang ... entah politikus, pengajar atau justru kritikus sebutannya, yang sering sekali mencibir kepemimpinan Saleh Gustipradja, kini tengah duduk di sofa, berbincang serius dengan Djati saat ia tiba. Sontak membuat langkah Mahi terhenti begitu saja.

Gadis itu harus menelan lagi omelannya sebab ada orang lain disana.

"Eh, Mbak Mahi." Yono menyapanya saat hendak masuk. Sementara kini Mahika menggerakkan telunjuk ke bibir, mengisyaratkan agar Yono tidak membuat suara sebab ia sedang dalam misi menguping.

Ini adalah trust issue terbesar Mahi pada Djati.

Lelaki itu nyaris sempurna dengan segala yang ia lakukan selama ini. Semuanya, kecuali bayang-bayang politik yang masih mengincar kemanapun langkahnya pergi. Seperti apa yang Ibuk pernah katakan, Djati adalah titik bidik yang tak henti-henti jadi pusat perhatian meski ia sudah nyempil jauh dari huru-hara. Mahika sudah menarik Djati jauuuh dari kekuasaan, coba mempersiapkan masa depan mereka sesederhana mungkin. Tapi orang-orang terus saja mendatanginya. Yang jadi masalah adalah ... akhir-akhir ini Mahika baru paham, ada beberapa kesempatan dimana ia tanpa sadar mendampingi Djati menapakkan kakinya di dunia 'itu'.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang