30. Berjanji

16.8K 3.1K 427
                                    









"Mas Sedjati?"

Lelaki itu menoleh, berdiri dari kursi tinggi tempatnya duduk tadi untuk lekas mengulurkan tangan, memasang senyum paling ramah yang ia punya untuk di bagi. "Mahen-- maaf, maksud saya Gusti Mahendra."

Lelaki berkulit sawo matang itu menjabat tangannya dengan erat, menepuk punggung tangan Djat dengan tangannya yang lain lantas mengoreksi. "Mahendra saja. Kita seumuran, dan ini bukan Pura Mangkunegaran," ujarnya. "Maaf membuat Mas menunggu sendirian."

Djati menggeleng. "Nggak sendirian. Sebenarnya tadi ada kakak saya, baru lima menit pergi," sangkal Djati pelan. "Keberatan kalau kita lanjutkan percakapan sambil duduk dan pesan minum?" tawarnya.

"Oh, ya-ya. Tentu." Mahendra melepas jabat tangan mereka lalu berjalan lagi dengan luwes, menarik kursi tinggi di depan meja-meja panjang lantas membiarkan Djati mengangkat tangan, memesan minuman tambahan sembari memberikan gelas-gelas sisa yang ada di meja untuk di bawa serta si pelayan. Begitu gadis bertudung itu pergi, barulah Djati kembali fokus ke depan.

"Maaf lambat membalas pesan yang Mas Sedjati kirimkan," sesal Mahendra sungguh-sungguh. "Awalnya saya tidak percaya itu betulan nomor telpon Mas. Saya pikir, buat apa orang sesibuk Mas Djati repot-repot menghubungi saya dan mengajak bertemu?" kekehnya lembut. "Setelah kroscek ke Luis dan memastikan itu memang benar nomor telpon Mas Djati, baru saya punya keberanian membalas."

"Oh ya, saya hampir lupa kalau kita pernah bertemu beberapa tahun lalu lewat Luis," ingat Djati. "Tapi kita belum sempat bicara banyak ya, waktu itu?"

Mahendra membenarkan. "Syukurlah sekarang bertemu lagi." Ia menyangga kedua sikunya di meja dalam posisi duduk yang tegak, masih menanti maksud Djati menginginkan bertemu dengannya. "Boleh saya tahu tujuan Mas hari ini?"

"Oh iya. Sori." Djati menunduk, menarik tote bag di bawah kursi untuk di naikkan ke meja. "Ada yang harus saya perlihatkan," ujarnya.

Mahendra mengangguk. Sejenak pandangannya terpaku pada tas berukuran sedang dengan ukiran inisial nama yang tampak familiar di hadapan. Baru teralih saat Djati mengeluarkan beberapa kertas dan foto yang langsung membuatnya mengernyit kaget. Mahendra mulai was-was dengan topik perbincangan mereka setelah sadar, siapa saja yang ia lihat dalam jepretan-jepretan tanpa ijin tersebut.

"Mereka mencuri barang-barang antik milik keraton dan memperjual belikannya untuk meraup keuntungan pribadi." Djati tak punya waktu untuk basa-basi. "Notoseno," ujarnya memperjelas.

Namun di luar dugaan, respon Mahendra sangatlah tenang. Lelaki itu hanya menatap satu persatu foto yang ada di depannya dengan senyum pahit lalu mengangkat kepala, menatap Djati dengan jawaban singkat. "Bukan ranah saya untuk ikut campur masalah ini. Maaf," katanya, membuat Djati mengernyit serius.

"Bukan ranah Mas Mahendra?"

Mahendra mengangguk kalem. Menumpuk foto-foto di hadapannya lalu meletakkannya di bawah tumpukan kertas yang Djati lebarkan di meja. Tak ingin pengunjung lain melihatnya. "Memang benar, saya mengabdikan diri untuk mengurus Mangkunegaran sebagai bentuk bakti pada mendiang Romo saya," katanya lembut. "Tapi saya sama sekali tidak berwenang mengurus apa yang ada di luarnya, apalagi jika sudah ke kawasan sana," gumamnya. "Saya bukan apa-apa."

Djati ber'oh' santai. Menarik dan memasukkan lagi apa yang ia bawa ke dalam tas lantas bertanya. "Karena pencurian ini sudah mendapat ijin dari salah satu putra yang berkuasa?"

Mahendra mengerjap perlahan sebagai ganti kata 'iya' yang sulit ia cetuskan.

"Apa polisi juga tidak bisa menyelesaikan kasus ini?"

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang