28. Bertandang

16.6K 3.2K 722
                                    








"Bapak nggak apa-apa, Mbak."

Entah berapa kali Djati dengar pria itu berkata demikian. Sejak mereka sampai hingga kini, sudah nyaris dua jam ia duduk di sofa panjang dalam ruang rawat tersebut. Senyum kebapakannya tak lekang dari bibir meski wajahnya tampak pucat. Tangannya masih terus mengusap-usap kepala sang putri yang tersuruk di dadanya semenjak tiba.

Mahika duduk di sebelah ranjang rawat Bapaknya, menangis sesenggukan tanpa henti. Djati sampai was-was sendiri. Padahal kemarin siang hingga malam, kesehatan Mahika pun sedang buruk sekali hingga perjalanan mereka harus di tunda sampai pagi. Lihat itu, bekas infus masih menempel di perpotongan lengan kirinya, sementara di bagian punggung tangan di bebat perban sebab Mahika tak sengaja merobek bagian kulitnya sendiri saat panik ingin melepas infusnya kemarin. Sedjatinya gadis itu juga tidak sedang baik-baik saja.

"Silakan di makan, Mas."

Djati mendongak, tersenyum sopan menyambut wanita yang masih ayu di usia tak muda tersebut. "Terimakasih, Buk. Nggak usah repot-repot."

"Nggak repot. Justru Mas yang repot sudah mengantarkan Mbak Mahika pulang." Wanita itu duduk di ujung sofa, cukup jauh dari Djati. Sama-sama menatap Mahika yang masih belum juga mengangkat kepala dan berhenti dari tangisnya. "Tanganmu kenapa itu, Mbak?" tanyanya, terdengar cemas meski di balut nada yang galak. "Kamu nangis terus, nanti Bapakmu nggak bisa tidur."

Djati diam saja sebab Mahika sudah mewanti-wantinya sejak dalam perjalanan, agar ia bungkam soal sakitnya. Khawatir Bapaknya makin kepikiran.

"Mbok mandio dulu to, Mbak. Dari jauh, sawan masih pada nempel," komentar Bu Hayu. "Pulang sebentar, ini Masnya diajak istirahat di rumah, besok baru kesini lagi."

Sementara Pak Djatmiko menoleh, membawa telunjuk ke bibir, mengisyaratkan istrinya agar diam. Pria itu tersenyum simpul saat bertatapan dengan Djati sejenak, kembali pada putrinya sambil berbisik. "Berapa lama lagi nangisnya, nduk?"

Sambil tersedu-sedu Mahika menjawab. "Lima menit."

Pak Djatmiko tersenyum tipis, manggut-manggut dan lanjut mengusap kepala putrinya dengan sayang. "Lima menit lagi, jangan ada yang ganggu anak Bapak nangis, ya? Biarkan saja," katanya. Meraih tangan kiri Mahika yang terluka untuk di bawa ke pipi, di kecupi berulangkali. "Bapak kangen," bisiknya. "Pulang-pulang kok nangis," imbuhnya tenang. Lanjut bergumam lirih sekali. "Ngapurane Bapak ya, ngger," pintanya dengan mata renta yang sendu, berkaca-kaca. "Kedunguan Bapak hampir menghancurkan hidupmu."

Baru Mahika mendongak setelah mendengar bisikan bapaknya barusan. Matanya yang sembab dan wajahnya yang masih pucat menggeleng, tersenyum sedih. "Bukan salah Bapak," jawabnya. "Mbak yang minta maaf, Bapak. Minta maaf yang banyak," tangisnya pecah lagi, terisak-isak sambil menggumam kata maaf puluhan kali. "Minta maaf, Bapaak. Minta maaf."

Djati bergeser perlahan, menarik tissue di depannya untuk kemudian di sodorkan pada Bu Hayu yang menunduk, diam-diam ikut menangis pula. Perhatiannya terbagi sejenak, pada Ibu kekasihnya yang tampak bersalah, dan juga pada kekasihnya yang belum berhenti berkata maaf pada sang ayah.

"Seorang anak itu nggak pernah punya salah. Yang salah orangtua," gumam Pak Djatmiko lembut. Menyeka airmata di wajah putrinya dengan senyuman hangat. "Anak Bapak nggak salah. Anak Bapak baik," ujarnya. "Anak Bapak dua-duanya baik, anak-anak manis, anak-anak penurut. Ndak pernah bikin susah."

Djati menghela napas pelan, jadi saksi haru biru keluarga itu sampai pintu terjeblak, sesosok gadis berseragam masuk ke ruangan dan terbelalak sejenak di depannya. Djati tersenyum tipis pada bocah yang ribut mengeluarkan ponselnya itu. Melambaikan tangan dengan ramah sementara yang ia sapa masih sibuk mencocokkan gambar di layar ponselnya dengan muka Djati, berjalan selangkah demi selangkah mendekat dengan mata bundar yang mirip sekali dengan kakaknya. Berkedip-kedip lugu lalu mendesah panjang sambil mengusap dada.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang