1 . Terusir

39.2K 4K 744
                                        






Surakarta, Indonesia.






Pada melodi nestapa yang disenandungkan sang tani malam itu,
Pongah tawa bersahut-sahutan,
Milik tikus-tikus nakal yang siang tadi menjarah ladang,
Menyimpannya di atas menara sana.
Pemilik lahan menangis kelaparan,
Sedang para tikus sibuk berpesta dengan gandum curian,
Ah, begitulah keadilan ; katanya.


"Hehehe." Gadis itu terkekeh, bersamaan dengan telpon rumah yang berdering di sisinya. Berisik sekali. Mengganggu konsentrasi membacanya yang susah payah di bangun sejak subuh tadi. Ia masih terlentang di sofa panjang, menyilangkan kaki-kakinya satu sama lain dengan tenang. Membalikkan lembar buku yang ada di tangan, berniat mengabaikan bunyi berisik di kupingnya. Meski ujung-ujungnya ia tak tahan juga.

Dengan decak pelan ia menoleh, meraih gagang telpon dan berdekhem sebelum menyahut. "Halo," bukanya. "Selamat pagi, dengan kediaman Raden ngabehi Soeroso Djatmiko Haryokusumo dan Ibu Sekar Lituhayu. Ada yang bisa dibantu?" Ia menutup buku dengan judul 'tikus-tikus berdasi' yang belum usai ia baca tersebut lantas terduduk, menegakkan tubuhnya di sofa. Mengerjap tenang seraya membalas tanya dari si penelpon di seberang sana. "Oalah, Budhe Erna. Ini Mahika, Budhe. Ooh, iya-iya, itu benar kok. Pernikahannya memang batal," sahutnya dengan senyum lebar. "Saya yang batalkan. Maaf ya, Budhe. Kondangannya gagal. Sebagai permintaan maaf, Mahika akan kirim voucher makan gratis di Leres Kedhaton dan potongan menginap tiga puluh persen khusus bulan ini di Ndalem Simbah," lanjutnya. Buru-buru memotong cerocosan lawan bicaranya dengan segera. "Terimakasih, Budhe. Semoga Budhe sehat selalu. Sampai ketemu lain kali kalau Mahika berniat menikah lagi."

Dan ditutupnya telpon itu dengan anggun. Melipat kaki kembali, berniat meneruskan membaca, sebelum keinginannya di jeda oleh telpon yang kembali berbunyi.

Gadis itu berdecak, mengangkat panggilan dan seperti sebelumnya, ia mengatakan hal yang sama persis kepada penelpon pagi itu. Kurang lebih, ada delapan sampai sembilan panggilan bertujuan sama yang ia angkat dalam waktu setengah jam lamanya. Telpon rumahnya tak henti berdering hingga di panggilan ke sepuluh, Mahika menghela napas panjang. Menyipit dongkol dan celingungan. Berdiri dari duduknya kemudian bertindak impulsif dengan mencabut kabel telpon agar suara bising itu berhenti merecoki paginya.

"Orang lagi libur kerja digangguin." Senyumnya mengembang ketika ia menepuk-nepuk kedua tangannya puas, kembali duduk dengan anggun di sofa kulit tersebut. Ia baru akan  melanjutkan membaca ketika pintu penghubung lantai satu dan lantai dua terjeblak, menampilkan ibunya yang tengah menyicing kain jarik dengan wajah merah padam. Sebuah koper diseret paksa menuruni anak tangga, mencipta bunyi gledak-gleduk dari roda-roda kecil kopernya yang menghantam permukaan kayu dengan kasar. Wanita itu menatapnya tanpa kedip dari kejauhan, membuat Mahika sontak berdiri dengan heran, terkaget-kaget kala koper yang ia klaim sebagai miliknya dilempar ke luar rumah.

"Ibuk?!" Mahika berseru histeris, berlari mengejar kopernya yang menggelinding di pendopo. Berteriak histeris menatap baret-baret yang tercipta di berbagai sisi koper merah muda tersebut.

Ya ampun. Ia menabung tiga bulan lamanya demi membeli koper ini! Harganya cukup untuk ia pakai plesiran ke Maldives selama seminggu!

Sementara nyonya rumah, ibu Sekar Lituhayu atau yang lebih akrab disapa Bu Hayu itu berkacak pinggang menatapnya. Masih dengan muka sengak luar biasa ia berujar. "Kamu diusir. Minggat dari rumah ini sekarang juga."

Mahika mengerjap. Ia masih berjongkok memegangi koper ketika bapaknya menyusul turun dengan decak frustasi. Berusaha meredam emosi istrinya meski usaha itu tak sedikit pun berpengaruh. Emosi di mata Bu Hayu masih bergejolak hebat dan Mahika tahu jelas apa artinya. Kata-kata ibunya tak pernah bisa dikoreksi, apalagi dibantah. Sekali bilang pergi, itu artinya ia memang tak akan punya tempat berpijak lagi di sini.

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang