25. Dua mata koin yang di lempar

17.4K 3.1K 463
                                    








"Djati songong banget. Baru pacaran seminggu udah sesumbar mau kawin tahun depan. Kayak lamarannya bakal di terima sama bapaknya Mahika yang bangsawan aja." Djiwa menggerutu panjang lebar sambil ikut merebahkan diri di samping Luisa yang tidur-tiduran di ruang istirahatnya karena sedang nyeri datang bulan. Ia menghela napas panjang, memeluk gadis itu dari belakang sembari bertanya. "Udah di minum belum itunya?"

Luisa mengangguk. Menarik selimut hingga menutup hidung, meringkuk lagi dengan mata terpejam.

"Kompresnya?"

Gadis itu mengangguk lemah. Bergumam dengan suara parau. "Mm."

"Kuanterin pulang, ya?" tawar Djiwa, mengecup pundak pacarnya dengan risau. "Istirahat di rumah aja biar lebih leluasa. Disini keberisikan sama suara anak-anak laknat di bawah," ujarnya. "Pulang, yuk?"

"Aku di apart dari semalam," gumam Icha pelan. "Disana sendirian. Mau numpang disini dulu, nanti malem aja baliknya."

"Lhoo," tegur Djiwa kaget. "Kan baru Rabu kemarin kamu pulang, masak udah minggat lagi, sih? Kenapa?"

"Papi bawel," sahut gadis itu, masih dengan mata tertutup. "Gara-gara kamu juga, nggak tegas jadi laki," cecarnya tanpa berusaha memperhalus bahasa. "Aku iri sama Mahika. Baru jadian seminggu udah di kasih janji tahun depan bakal nikah. Sedangkan aku yang udah di pacarin dua tahun lebih masih begini-begini aja."

Djiwa mengerjap pelan, tidak membalas.

"Bolak-balik minta di lamar udah kayak pengemis tetep aja nggak di kasih," racaunya, meneruskan. "Beruntung banget Mahika dapet cowok segarcep Djati. Mau nanti di terima ataupun di tolak, seenggaknya dia berani maju. Nggak kayak kamu yang kebanyakan alasan."

Djiwa masih bungkam, alih-alih menggunakan mulutnya untuk menjawab, ia justru terdiam sambil mengusap-usap bahu pacarnya yang sedang kesal. Mempersilakan gadis itu meluapkan kemarahan.

"Djati udah berani matok tahun depan," ungkitnya. "Dia aja bisa ngelangkahin Mas Raffan. Masak kamu enggak?" kejarnya terus-terusan.

"Itu kan baru wacana-nya Djati aja, Sayang. Belum tentu kejadian juga."

"Ya seenggaknya dia punya wacana," bantah Luisa ketus. "Kata Mamiku, pacaran kelamaan biasanya malah putus di tengah jalan," tambahnya, masih bergumam dengan nada marah. "Paling-paling nanti aku yang di pelaminan, kamu jadi tamu undangan."

"Ya jangan gitu lah ngomongnya," sahut Djiwa cepat. Tak terima pacarnya berkata demikian.

"Kamu boleh lihat hapeku," kata Luisa lagi, kini nada protesnya berganti dengan nada sedih saat melanjutkan. "Aku nggak mau nutup-nutupin apapun dari kamu," gumamnya sendu. "Papi maksa aku kenalan sama anak temennya. Dia ngechat aku dari dua hari lalu dan aku balesin chatnya terus. Ku ladenin dia. Kamu bisa lihat semuanya," akunya jujur. "Marah aja kalau mau marah. Aku juga nggak tahu itu namanya selingkuh atau bukan." Ia menarik selimutnya lagi lebih tinggi. Menutupi kedua matanya yang basah, menutupi tangisnya dari Djiwa yang kini terduduk, meraih ponselnya di samping kasur lipat dan membukanya. Mengecek isi percakapan yang ia maksud dengan serius, lalu menghela napas berat.

Luisa memejamkan mata rapat-rapat, tak berani menyaksikan kekecewaan di mata Djiwa. Hati kecilnya sudah ribut sejak kemarin. Tidak ada yang menyentuhnya memang, tapi ia merasa tercekik tiap kali memikirkan langkah yang telah ia ambil sembarangan. Barangkali Djiwa akan murka setelah ini. Tapi siapa peduli. Ia juga terpojok sana-sini sekian lamanya.

"Maafin aku," cicitnya. "Aku berniat diem-diem nanggepin dia tanpa ngasih tahu kamu. Tapi aku nggak bisa," sesalnya. "Aku selingkuh ya, Djiw?"

Percakapan itu cukup panjang dan sering. Khas sepasang manusia yang sedang pendekatan menuju tahap lebih serius. Bertukar hobi, makanan kesukaan, saling mengucapkan selamat pagi dan selamat malam. Djiwa melirik Luisa lagi lantas bertanya. "Kamu merasa selingkuh, nggak?"

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang