35. Siasat berpijak

16.6K 3K 571
                                    











Ternyata memang benar, pikiran manusia adalah musuh paling nyata bagi diri sendiri. Mahika tak sadar sebelumnya, tapi setelah mendengar banyak hal dari Luisa mengenai Djati yang blablabla, sudut pandangnya terhadap lelaki itu jadi sedikit berbeda.

Mahika jadi ... agak waspada dengan pacarnya sendiri. Gerak-gerik Djati, caranya memperlakukan orang lain, dan tutur katanya jadi perhatian besar Mahika beberapa hari terakhir. Dan rupanya, setelah dilihat baik-baik, memang benar kata Luisa. Mahi masih belum tahu banyak hal soal Djati. Barangkali selama ini, hubungan mereka terlalu berfokus hanya pada 'bagaimana yang Mahika mau dan apa saja yang Mahika suka' tapi tak pernah sebaliknya. Mahika merasa buta pada Djati. Dua tahun bersama, ia hanya tahu umur lelaki itu, makanan dan minuman favoritnya, lalu ... tidak ada lagi. Hanya tiga hal itu saja yang ia tahu dari Djati. Sungguh minim sekali.

"Mas sering berkuda?" tanyanya sore itu, ketika Djati muncul di ruang rawatnya. Kaos yang ia kenakan penuh dengan keringat, mencetak garis-garis otot punggung dan perutnya yang kencang ketika ia menunduk, meraih sajadah untuk di bentangkan.

"Iya, lumayan. Kan Mas selalu bilang ke kamu kalau mau berkuda."

"Oh ya?" Tuhkan. Mahi bahkan tak pernah memperhatikan perkataan Djati selama ini. "Mas ... sering cerita, ya?" Mungkin ia memang terlalu egois dan memikirkan diri sendiri. Hal seperti inipun ia lupa.

"Bentar. Mau sholat dulu, keburu habis waktu ashar-nya. Tunggu, ya." Lelaki itu berlarian ke kamar mandi. Suara gemericik air terdengar ketika ia mengambil wudhu, keluar menggunakan kaos lain yang lebih bersih, dengan bagian-bagian tubuh telah terbasuh. Djati balik badan, memunggunginya. Menjalankan kewajibannya dengan amat khusyuk beberapa saat lamanya.

Sementara Mahika meraih remote dan mematikan televisi, memilih fokus menatap Djati dari belakang, sembari sibuk berpikir, kira-kira seberapa banyak hal yang telah ia abaikan selama ini, dan apa yang harus ia lakukan untuk mengejar ketertinggalannya soal Djati. Demi apapun, Mahika mencintai Djati. Mahika juga ingin memperlihatkan pada lelaki itu bahwa ia juga punya rasa cinta yang sama besarnya.

"...assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Astagfirullah hal adzim. Allahuma antassalam wa minkassalam .."

Mahika mendesah panjang. Bersila diatas kasur, menekuk kakinya dan menunggu Djati usai menjalankan doa-doa yang panjang. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya Djati meraupkan kedua telapak tangannya di wajah dan berkata aamiin, mengakhiri ibadah sorenya dan melipat sajadah, meletakkannya lagi di atas nakas, samping kasurnya.

"Tadi Mama titip salam. Nanti kalau udah pulang dari Jepang, katanya mau mampir jengukin kamu bareng Papa." Djati menarik kursi untuk di seret ke samping ranjang, mendongak dengan senyum manis. "Boleh nggak mereka kesini?"

Mahika mengangguk. "Boleh."

"Oke, nanti Mas sampaikan," ujarnya. Menyentuh lengannya yang terluka dengan hati-hati. "Gimana? Tadi waktu ganti perban dokternya bilang apa?"

Djati selalu bertanya apa yang terjadi padanya, sedang Mahika sekalipun tidak. Ia tidak pernah tahu apa yang Djati lalui, kapan ia bahagia dan kapan ia sedih.

"Diajeng," panggilnya lembut. "Ngapain aja hari ini? Baca buku, ya? Buku apa aja yang kamu baca tadi?"

"Mas,"

"Mm?"

"Mmmh ..." Mahika menelan ludah, menatap Djati cukup lama lantas tersenyum gugup. "Sekali-sekali ... gimana kalau Mas yang cerita hari ini ngapain aja? Gantian aku yang dengerin." Idenya, memiringkan tubuh menghadap Djati sepenuhnya. Siap jadi pendengar yang baik untuk pertama kali. "Ayok, ceritain tadi gimana."

Narasi patah hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang