Sonder
Chapter 4
By saytheutic.
.
."Itu adeknya dokter Rean?"
"Ho, agak mirip, ya."
"Duh, namanya juga adeknya. Gimana, sih?"
"Tapi, gantengan dokter Rean."
Sengaja Zello menggunakan headphone-nya tanpa lagu yang terputar, tetapi dirinya malah mendapati orang lain bicara di belakangnya. Tidak jauh di belakang Zello, sampai ia rasa, jika lagunya terputar pun suara mereka akan terdengar jelas.
"Udah gennya bagus. Mana orang tuanya petinggi rumah sakit. Pasti tajir banget."
"Nggak keliatan kayak orang kaya juga."
Zello mendengkus geli. Ia tidak masalah jika dirinya menjadi bahan pembicaraan. Dirinya sudah diwanti-wanti sejak masih di bangku kuliah, gosip di rumah sakit dapat menyebar dengan cepat, bahkan lebih cepat dari kedipan mata. Oleh karena itu, Zello selalu berusaha untuk menjaga sikap dan rahasinya. Jangan sampai tiba-tiba ada kabar tidak mengenakkan terdengar.
Apalagi dengan statusnya sebagai anak dari petinggi rumah sakit atau adik dari dokter idaman di Rumah Sakit Amartya.
Zello memegang gagang lollipop yang permennya sudah habis. Mengeluarkannya dari mulut, sebelum membuangnya ke tempat sampah. Kedua tangan Zello kemudian dimasukkan ke dalam saku celana, agak mempercepat langkah untuk sampai ke ruangan.
"Eh, adeknya dokter Rean." Sebuah sapaan terdengar, membuat Zello menoleh. Sesosok laki-laki yang sangat ia kenal berjalan di sebelahnya, dengan cengiran di bibir. "Ternyata gosip tentang pegawai baru itu benar, ya. Baru sehari, tapi udah nyebar ke seluruh ruangan."
"Bahkan orang yang kenal sama gue manggil gue dengan sebutan "adeknya dokter Rean". Seterkenal itu, ya, kakak gue." Senyum Zello terulas lebar. Ia berhenti berjalan. "Long time no see, Bro. Gimana kabar lo sekarang?"
Laki-laki yang berada di sebelah Zello adalah Ghavi, sahabatnya sejak masa pengenalan kehidupan kampus hingga mendapatkan gelar Ners. Sejak terakhir kali bertemu, Zello tahu bahwa sahabatnya itu bekerja di rumah sakit tersebut. Hanya saja departemen keduanya yang berbeda.
"Gimana PJT? Nggak sering ketemu kakak gue, 'kan?" Zello tertawa pelan. "Cita-cita lo buat nggak akan pernah ketemu Kak Rean terwujud. Gimana?"
"Kalau lo mau tahu, dokter Rean sering main juga ke PJT." Ghavi membalas. "Lo sendiri gimana di anak? Dari kemarin, ruangan gue heboh gara-gara anaknya dokter Rendra bakal kerja di sini juga. Mereka pada ngomong soal itu."
Zello mengernyit tidak mengerti. Keduanya mulai berjalan kembali, berhubung waktu dimulainya dinas pagi semakin dekat. "Ngomong soal apa?" tanya Zello penasaran.
"Tentang lo yang bakal jadi penerus dokter Rendra, bukan dokter Rean," jawab Ghavi pada akhirnya. "Gue dengar-dengar doang, sih. Tapi, banyak yang mikir kedatangan lo itu buat ngambil tahta ayah lo. Gue sendiri nggak percaya. Bukannya lo nggak suka manajemen sejak dulu?"
Zello menghela napas panjang. "Ya, gue emang nggak suka ada di manajemen," balasnya. "Lagian juga ...." Tangan Zello mengusap lehernya sendiri. "Manajemen butuh orang yang berumur panjang kayak Kak Rean. Bukan gue yang bisa menghilang dari kehidupan kapan aja."
"Ck." Ghavi berdecak pelan. Ia melingkarkan tangannya di pundak Zello. "Lo harus sadar kalau semua orang bisa mati kapan aja. Bahkan, pasien kita yang kondisinya baik, bisa apnea lima menit kemudian."
Zello melirik Ghavi. Ia menyingkirkan tangan laki-laki yang usianya satu tahun lebih tua tersebut, ketika merasa sensasi geli di leher. "Ya, dan kondisi gue sama kayak pasien kita." Zello berbisik. "Gue bisa henti jantung kapan aja, 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...