Chapter 16

3.6K 437 42
                                    

Chapter 16
Sonder
By saytheutic

.
.
.

"Kayaknya, makan malam pakai mie ayam enak."

Rean mendongak, menatap Nara yang berdiri di depan meja. Merasa perempuan itu tidak pernah duduk, Rean ikut bangkit. "Duduk, Kak. Jangan berdiri terus," ucap Rean pada akhirnya.

"Enakan berdiri. Siapa tahu, saya makin tinggi," balas Nara. Ia melipat kedua lengannya di atas meja. "Jadi, makan mie ayam gimana menurut Dokter?"

"Kok, menurut saya?" Rean mengerutkan kening. "Makan sayur aja. Daripada ke depannya Kakak yang jadi pasien saya."

"Wah, boleh juga, tuh. Kalau saya jadi pasiennya, nanti diperlakuin spesial nggak?" Nara tertawa pelan. Ia mengerlingkan mata kirinya. "Dapat potongan biaya, dong, ya."

"Enak aja. Biaya tetap sama, perlakuan juga sama kayak yang lain." Rean memasukkan kedua tangannya ke dalam saku scrub. "Saya mau ke PJT. Kakak mau ikut nggak? Jadi asisten saya gitu."

"Nggak dulu. Saya mau nyantai di sini. Mumpung—ya, begitu. Nggak mau ngomong, nanti malah jadi kebalikannya."

Rean tertawa pelan, kemudian berdeham. Meski begitu senyum tetap terlukis di wajahnya. Ia kemudian berkata, "Atau saya aja yang ngomong?"

"Nggak usah bercanda, Dok. Ucapan Dokter selalu kejadian soalnya. Saya lagi pusing mikir mau makan apa nanti malam." Nara berdecak beberapa kali. "Nanti balik lagi ke sini, Dok?"

"Kenapa? Takut kangen?"

Wajah Nara tampak memerah. Ia mengerjap, kemudian menggeleng beberapa kali. "Biar saya ada teman gitu, maksudnya. Tahu sendiri, zona sini cuma sendiri. Masa, saya main ke zona merah."

"Nanti balik ke sini, kayaknya. Kalau nggak malas."

"Oh, iya, Dok. Sekalian."

Rean yang awalnya akan bergegas, kembali mengurungkan niat. Kedua alisnya tertaut heran. Ia bertanya, "Sekalian? Sekalin apa?"

"Selamat ulang tahun, ya. Udah lewat, sih, tapi kemarin kita beda jam dinasnya."

Senyum Rean tampak semakin lebar. Ia mengangguk beberapa kali. Merasa senang karena ada yang mengingatnya, selain pengirim paket yang diterimanya kemarin.

"Makasih, ya. Kakak yang pertama ngucapin."

Nara balas tersenyum. "Tahun depan, saya bakal ucapin lagi. Tepat waktu."

"Saya tunggu, loh."

•••

Rean ingin menghindar, tetapi rasanya hal tersebut mustahil. Mau tidak mau, ia harus datang ke PJT, lebih tepatnya ke ruang intensif. Bundanya mungkin sedang duduk di ruang tunggu. Meski sudah beberapa hari ini tidak bertemu—efek dirinya yang memilih untuk berada di rumah sakit dan pulang jika memang perlu—kecanggungan masih tetap terasa.

Benar seperti tebakannya barusan, Anggia terlihat sedang duduk di kursi panjang. Menunggu kabar terbaru di sela pekerjaannya. Perlahan, namun dengan penuh keengganan, Rean berjalan mendekat.

"Aku nerima paket, atas nama aku, tanggal satu kemarin. Itu dari Bunda?" Bukan menanyakan kabar terlebih dahulu, Rean malah menanyakan paket yang diterimanya tempo hari. Atas nama dirinya, tetapi ia sudah lama tidak berbelanja. Tidak ada nama pengirimnya, tidak ada ucapan pula. Awalnya ragu, meski akhirnya tetap diterima. Beruntung, isi paket tersebut bukan barang terlarang atau berbahaya.

Anggia lantas mengerjap dua kali. Bingung sendiri karena langsung disodori pertanyaan yang bahkan tidak pernah terbesit di benaknya. "Paket apa? Bunda nggak pernah beli barang," jawabnya.

"Bunda nggak beliin kado buat aku?" Rean kembali bertanya. "Kemarin aku ulang tahun."

"Oh, iya, ya. Tanggal satu kemarin. Bunda lupa banget. Maaf, ya." Anggia tersenyum tipis, bangkit dari kursinya, dan memeluk Rean singkat. "Selamat ulang tahun, ya, Sayang. Maaf Bunda telat ngucapinnya."

Rean tidak membalas pelukan itu sama sekali. Mau tidak mau, senyumnya terbit. Tidak setiap tahun ia mendapat ucapan selamat.

"Nggak perlu diucapin juga nggak apa-apa. Aku udah dewasa," ucap Rean.

Udah dewasa ... ya?

Tangan Anggia mengusap puncak kepala Rean yang jauh lebih tinggi darinya. Senyumnya terulas tipis. Sudah lama ia tidak melihat Rean, meski tahu bahwa putranya itu juga sibuk.

"Bunda minta maaf, ya," ujar Anggia. Ia meraih tangan dingin Rean, menggenggamnya erat. Wajah yang terlihat lelah itu seolah tanpa ekspresi berarti, meski senyum tersungging di bibir. Tempo hari sempat berdebat, ternyata membuatnya juga merasa canggung. "Hari ini kita makan-makan, gimana? Kamu pulang jam berapa? Ajak ayah sekalian. Kita ... udah lama, 'kan, nggak makan sama-sama."

Bibir Rean terkatup rapat. Ia melirik ke arah pintu ICCU yang tertutup. "Bukannya Bunda seharusnya tetap di sini?" Rean membalas. "Anak itu ... lebih butuh Bunda, 'kan, dibanding aku? Selalu begitu."

Anggia menggeleng cepat. "Sekali ini, nggak apa-apa. Bunda udah lama nggak ngeluangin waktu buat makan bareng."

Rean menggeleng cepat. Ia ingin menolak, tidak ingin duduk di hadapan kedua orang tuanya. Merasa seperti disidang, efek tatapan ayahnya yang selalu tajam dan menusuk. Seumur hidup, jika bisa, Rean ingin menghindar saja.

"Sekali aja. Gimana? Kamu mau apa? Kamu mau cheese cake kesukaan—"

"Bunda," potong Rean cepat. "Aku sibuk, Bunda sibuk, ayah juga sibuk. Buat saat ini, aku nggak bisa. Maaf, ya. Lain kali aja. Lagipula ...." Rean menghela napas panjang. "Bunda lupa? Aku nggak suka cheese cake. Orang yang suka cheese cake itu Zello, bukan aku."

Anggia tampak tertegun. Masih tetap menggenggam tangan Rean. Ia untuk sejenak menunduk.

"Aku mau-mau aja makan cheese cake, walau itu bukan kue kesukaan aku." Rean berusaha tersenyum. Berkata bahwa dirinya sudah dewasa, tapi masih terselip rasa sakit di baliknya. "Tapi, maaf banget. Aku benar-benar nggak bisa kalau sekarang. Lain kali aja, ya, kita makan kue bareng."

Rean melepaskan tangan Anggia, kemudian berlalu begitu saja. Rean tidak tahu akan bagaimana nasib makan malam mereka jika ia mengiyakan. Merasa masih bersalah akibat ucapannya, Rean pada akhirnya membuka pintu ICCU yang tertutup rapat.

Begitu Rean melangkahkan kaki ke dalam ruangan, suasana yang intens langsung menghambat langkah. Kedua kelopak matanya melebar saat melihat beberapa orang berada di bed satu. Ada troli emergensi di dekatnya.

Masalah yang membuat jantung Rean seperti berhenti berdetak adalah ... itu adalah bed yang ditempati Zello.

•to be continued•

A/n

Aaaaa

Aku capek dan mengantuk wkwkwkwk

Bye-bye. Semoga kita bisa bertemu lagi secepatnya. Aku mau bobo dulu. Take care ya kamu semuaaa. Stay healthy and wealthy 😀

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang