Chapter 34

4K 316 33
                                    

Sonder
Chapter 34
By saytheutic

.
.
.

Anggia harus kembali terbiasa duduk di ruang tunggu ICCU. Berharap yang terbaik. Meski pada akhirnya ia dan Rendra sudah memutuskan; DNR adalah hal yang paling tepat.

Bertahun-tahun melihat sang putra harus berjuang untuk kehidupannya. Berkali-kali harus merasakan rasa takut yang begitu besar. Anggia mungkin masih berharap pada keajaiban, namun melihat Zello juga membuatnya merasa lelah.

Zello juga pasti merasakan hal yang sama.

Selama ini harus selalu berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Seolah menunggu kapan waktunya tiba. Anggia tidak bisa memikirkan bahwa tiap malamnya Zello selalu dihantui mimpi buruk. Berharap besok masih bisa menyapa mentari.

Anggia merasa sudah terlalu egois selama ini. Memaksa Zello untuk tetap bertahan, meski laki-laki itu enggan. Berharap agar sang putra tetap berada di sisinya, meski dengan kesakitan yang menyiksa.

Hari berganti, namun seperti belum ada perkembangan. Hasil irama kelistrikan jantung meski tampak lebih baik, namun bukan berarti si pemilik dapat keluar dari ruang intensif. Observasi masih harus dilakukan hingga kondisi benar-benar stabil.

Diberikan waktu sesaat untuk melihat keadaan Zello, justru membuat Anggia meringis pelan. Air mata yang sejak tadi ditahannya lantas mengalir begitu saja. Bibirnya kelu, ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

"Azel ... anak kesayangan Bunda," ucap Anggia lirih. Ia mengusap pipi Zello yang terasa dingin. Bibir yang sedikit membiru, meski selama ini memang tampak pucat. Sungguh, Anggia merindukan senyum yang selalu tersungging di bibirnya. Tampak indah dan menenangkan, meski dengan sejuta rahasia di baliknya.

Perlahan, Anggia beralih pada jemarinya. Tidak ada respon sama sekali, yang justru membuat kesedihan Anggia meningkat. Ia tidak dapat menahan isakannya sama sekali.

"Keputusan Bunda sama ayah ... udah tepat, 'kan?" Anggia melanjutkan, merasa sesak ketika ia harus berbicara. "Bunda nggak mau kamu semakin tersiksa. Kamu pasti udah capek banget, ya? Hal ini ... sesuatu yang kamu inginkan sejak lama, 'kan? Kamu pasti mau istirahat. Iya, 'kan?"

Anggia membekap mulutnya, berusaha menahan isakan yang tidak dapat ia tahan sama sekali. Pipinya semakin basah karena air mata, hingga menetes begitu saja ke permukaan punggung tangan Zello.

"Kakak kamu belum setuju soal ini. Dia masih pengin berjuang buat kamu. Dia juga lagi berjuang buat dirinya sendiri biar bisa keluar dari sini. Tapi, Zel ...." Anggia untuk sejenak menarik napas panjang. "Bunda nggak bisa terus-terusan nahan kamu bair tetap ada di sisi Bunda. Bunda nggak mau terus egois. Bunda juga pengin kamu senang."

Jemari Anggia mengusap surai Zello dengan lembut. Membayangkan bagaimana jika Zello benar-benar meninggalkannya. Kehampaan merasuki dadanya begitu saja. Rasa takut membuat Anggia ragu dengan keputusannya sendiri.

"Maaf karena selama ini selalu menahan kamu. Kamu mungkin udah nunggu momen ini." Meski masih dengan air mata yang mengalir deras, Anggia berusaha tersenyum. Berusaha untuk tampak kuat di hadapan sang putra. "Kalau kamu nggak berhasil keluar dari sini dalam keadaan hidup, nggak apa-apa. Satu bulan lagi usia kamu bertambah, tapi rasanya 23 tahun udah cukup. Bunda senang karena selama ini bisa menjadi ibu kamu. Punya anak sehebat kamu jadi sebuah kebanggaan buat Bunda. Walau kamu nggak ada nanti, kamu juga harus tahu, Zel ...."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang