Chapter 21
Sonder
By saytheutic.
.
.Rumah sakit selalu memiliki hawa yang tidak mengenakkan. Meski sudah sering berada di sana, bahkan juga bekerja, Zello terkadang tidak dapat membiasakan diri. Dinginnya ruangan membuatnya meringuk, memeluk dirinya sendiri.
Ghavi pamit pulang sejak tadi, hingga menjadikan Zello satu-satunya makhluk bernapas yang ada di kamar tersebut. Suara televisi tidak ia hiraukan. Netranya menatap ke jendela yang tertutupi gorden. Suara ambulans yang sesekali datang ke instalasi gawat darurat terdengar samar.
"Kenapa, ya, gue yang harus jalanin hidup kayak gini?" Zello bergumam pelan. Tangannya perlahan mengusap dada, merasakan detaknya di sana. Sesekali merasakannya berdebar, tetapi Zello tidak masalah, bahkan sudah terbiasa.
"Gimana, ya, rasanya hidup normal? Kayak orang-orang di luar sana?" Melanjutkan narasinya, Zello kemudian menarik napas panjang. Sesak yang ia rasakan bukan akibat dari jantungnya yang bermasalah, tapi dari perasaan. Keinginan untuk menjadi seperti orang lain mungkin sudah padam sejak lama. Hanya saja, terkadang Zello masih berharap.
Bagi Zello, mencapai usia 23 sudah dianggap sebagai sebuah keajaiban. Rasanya, berharap lebih jauh lagi terlalu berat baginya. Seperti tidak bersyukur atas kesempatan besar yang masih diberikan.
"Kalau gue hidup normal ... pasti rasanya seru banget, ya. Bisa lari-larian dikejar anjing, makan makanan nggak sehat." Zello terkikik geli. "Atau jangan-jangan sekarang lagi persiapan berangkat ke bulan. Mungkin gue bisa jadi penjelajah Mars."
"Ya, mungkin aja."
Sebuah suara menyahuti, hampir membuat jantung Zello berhenti berdetak untuk kesekian kalinya. Dengan selimut yang tidak lagi menutupi area dada, Zello mendudukkan tubuhnya, menatap ke arah pintu. Untung, kedua matanya justru menangkap sosok Rean berdiri di sana, bukan penunggu rumah sakit dengan wajahnya yang hancur.
Tapi, Rean juga menyeramkan, sih.
Zello lantas mengulas senyum tipis. "Sekarang gue beneran dirawat sama spesialis penyakit dalam juga, ya?" ucapnya. Ia mengangkat tangan, gestur menyapa.
"Muka lo pucat. Lo baik-baik aja, Kak?" Raut wajah Zello berubah khawatir. Kepalanya sedikit dimiringkan. "Lo butuh istirahat sekarang. Sini, duduk di sini."
Tangan Zello menepuk sisi bed yang kosong, namun langsung dibalas oleh gelengan kepala oleh Rean. Kakaknya itu memilih menghampiri sofa dan duduk di sana. Mengerti dengan pilihan Rean, Zello lantas mengangguk pelan.
"Nggak apa-apa, duduk di sofa juga enak. Lebih empuk." Zello berujar. "Maaf, ya, gue nggak langsung nyambut lo begitu datang. Gue juga lagi nggak punya makanan sekarang. Lo mau pesan online aja? Lo mau apa? Gue lagi pengin banget sushi—"
"Nggak perlu," potong Rean cepat. Zello terlalu banyak bicara, begitu menurutnya. Salah satu hal yang lantas membuatnya tidak nyaman. Inginnya beristirahat, tetapi adiknya itu malah terus mengajaknya mengobrol. "Gue cuma mau tidur. Kalau lo mau pesan, nanti gue ambilin ke bawah. Pesannya buat ke IGD, bilang atas nama gue."
"Gue nggak makan kalau lo nggak makan."
"Lagian juga, makan lo udah diatur sama ahli gizi. Buat apa lo pesan lagi."
"Gue mau bandel. Sekali ini aja." Kedua manik mata Zello tampak bersinar lembut. "Gue lagi pengin banget makan sushi. Temenin gue, ya, Kak."
Rean lantas berdecak pelan. Energinya seolah makin terserap oleh Zello. Pada akhirnya, daripada makin banyak bicara, Rean memilih mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...