Chapter 11

3.6K 443 32
                                    

Sonder
Chapter 11
By saytheutic

.
.
.

Semenjak terakhir kali bertemu dengan Zello, sejak saat itu pula terakhir kali Rean bertemu dengan laki-laki tersebut. Selama berada di rumah, ketika Rean datang, Zello langsung menghindar begitu saja. Rean awalnya heran, tetapi ia jadi ingat kalimat terakhir yang dilontarkannya.

Zello benar-benar memenuhi keinginannya.

Rean merasa senang. Ia tidak perlu lagi merasa terganggu dengan kehadiran sang adik. Meski begitu, harus Rean akui ... ada sedikit hal yang menggelitik perasaannya.

Sejak saat itu pula, meja makan selalu kosong. Tidak seperti biasa ketika Rean masuk ke ruang makan dan makanan sudah tersaji dengan rapi di atas sana. Tidak ada pula sapaan setiap kali Rean mencari sekotak susu di kulkas.

Rean bisa bernapas lega. Seseorang yang selama ini selalu mengotori pandangannya tidak lagi muncul. Walau tetap saja, namanya beberapa kali terdengar disebut. Maklum, topik mengenai Zello masih menjadi perbincangan hangat. Beberapa masih membandingkan kinerja Rean dengannya. Beberapa lagi mengingat kelakuan Zello yang izin meski baru beberapa hari bekerja.

Kondisi instalasi gawat darurat yang tidak terlalu ramai juga mampu membuat Rean menghela napas lega. Kebanyakan pasien berada di zona kuning dan hijau, sedangkan zona merah kosong melompong.

"Tumben banget banyak pasien gigitan kucing." Nara berujar seraya membaca kertas yang tergeletak di atas keja. "Kemarin piranha, ya, katanya? Sejak kapan di Jakarta ada piranha?"

Rean tertawa pelan. Ia menyangga kepala dengan kedua tangannya. Tadi pagi, Rean sudah mengunjungi pasiennya di ruang rawat. Sudah pula ia berdiskusi dengan rekannya dan beberapa konsultan. Sempat pula Rean bertemu dengan Rendra, meski tidak banyak pembicaraan yang terjadi. Rasanya begitu menyenangkan karena hari ini berjalan sangat lancar.

"Bagus, dong. Langsung dibawa ke IGD. Biar bisa langsung dikasih antirabies sama antitetanus." Rean membalas. Untuk sejenak, ia melirik Nara yang berdiri di depan meja. "Sayang banget, ya, kemarin Kakak lepas. Lumayan ketemu gigitan piranha."

"Aneh-aneh aja, gigitan piranha." Nara berdecak beberapa kali. "Semoga lain kali ada pasien digigit piranha lagi."

"Kalau emang di Jakarta ada banyak orang yang pelihara piranha, bisa."

Nara tertawa, membalik kertas yang berisi data pasien masuk. "Ngomong-ngomong, Dok." Ia berdeham sesaat. "Adeknya lagi sakit, ya?"

Tanpa Nara sadari, Rean mendengkus. Ia meletakkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja. Agak-agak berharap benda keramat itu tidak hilang begitu saja. Kedua matanya yang tajam menatap sang penanya.

"Nggak tahu," jawab Rean singkat.

"Kok, nggak tahu?" Nara kembali bertanya. "Saya tadi lihat dia lagi di poli. Nggak pakai seragam. Kayaknya, lagi ngobrol sama temannya juga, sih. 'Kan, nggak mungkin dia ngaso doang di poli. Di PJT pula. Departemennya aja jauh banget."

Rean tidak ingin berbicara mengenai Zello, jadi ia bangkit dari kursinya. "Saya mau beli makan, Kakak mau nitip nggak?" Ia mengalihkan pembicaraan. Lagipula, dirinya juga lapar karena belum makan sejak tadi pagi.

Efek tidak ada yang memasak, sepertinya.

"Wah, saya ngerasa nggak enak karena nitip makanan sama anaknya Pak Direktur," ucap Nara, sedikit bercanda. Selebihnya, kalau boleh ia ingin menerima.

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang