Sonder
Chapter 2
by saytheutic.
.
.Ruang rawat anak merupakan salah satu ruangan yang berada di lantai dua Rumah Sakit Amartya. Merupakan ruang rawat yang dikhususkan bagi individu berusia 28 hari sampai delapan belas tahun. Dengan delapan kamar dan tiga sampai enam bed di setiap ruangan dan sebuah ruang bermain anak di kamar nomor 209. Beberapa hiasan dinding terlihat, dengan tujuan agar anak memiliki kenyaman tersendiri.
Walau tetap saja, rumah sakit dan pegawainya tidak berhenti membuat anak menangis ketika ada tindakan.
Zello ditempatkan di tim dua. Itu berarti, ia akan memegang kamar 205 hingga 208. Bukan suatu pekerjaan yang sulit sebagai seorang lulusan baru, karena Zello tetap memiliki pengalaman selama menjalani masa perkuliahannya.
"Zello."
Panggilan terdengar, membuat Zello yang awalnya sedang merapikan troli alat berhenti bergerak. Ia menoleh dengan senyumnya yang mengembang. "Iya, Kak?" balasnya, menghampiri Ayu, wanita yang barusan memanggilnya.
"Soal omongan yang lain, jangan terlalu didengarkan, ya." Sebuah nasihat terlontar begitu saja. "Yah, kamu tahu sendiri rumah sakit kayak apa. Gosip bisa kesebar dengan cepat. Apalagi ...."
Zello paham dengan statusnya. Menjadi anak dari petinggi rumah sakit bukan sesuatu yang menyenangkan. Dirinya bukan dikenal karena prestasi, melainkan nama orang tua. Bukan itu yang Zello inginkan.
"Paham, kok, Kak." Zello mengulum bibir. Ia mengusap kedua tangannya dengan handrub di dekat pintu. Dengan enam langkah, Zello mencuci kedua tangannya selama dua puluh detik.
Ayu sendiri sebelumnya juga sudah diberitahu oleh Anggia bahwa putranya akan ditempatkan di ruangan yang ia kelola. Sebenarnya, Ayu bisa menerima saja, namun tetap ada sedikit rasa iri yang terselip di hati. Salah satu alasan kenapa Zello diterima mungkin ... karena kedua orang tuanya, yang tidak tanggung-tanggung, ayahnya adalah direktur rumah sakit dan ibunya adalah kepala Departemen Keperawatan.
Beberapa orang memang memiliki kemudahan dalam hidupnya dan Zello adalah salah satunya, begitu menurut Ayu pada akhirnya.
"Mungkin beberapa senior bakal agak keras sama kamu, tapi mereka cuma pengin penilaian ruangan tetap bagus." Ayu melanjutkan. Ia mungkin tersenyum, tetapi seperti ada yang menyentil perasaan Zello.
Itu tadi ... apa dirinya baru saja diremehkan?
"Iya, Kak," jawab Zello singkat. Kepalanya mengangguk pelan dengan senyum yang luntur dari wajahnya. "Aku ... umm, aku cek tanda vital dulu, ya, Kak. Permisi."
Lalu, kedua kaki jenjang Zello membalik tubuh. Ia berjalan ke troli peralatan, mengambil alat-alat yang dibutuhkan. Rasanya menyebalkan, hingga Zello ingin menghilang saja dari sana.
Apa ... bekerja di sana adalah sebuah kesalahan?
•••
Pada akhirnya, Rean dapat benar-benar menghela napas. Ia duduk di nurse station dan akhirnya bisa mengistirahatkan kedua kakinya yang pegal. Rean memijat pelipisnya perlahan. Jangankan untuk beristirahat, bernapas saja rasanya begitu sulit.
Seluruh pasien yang datang sudah ditangani. Bahkan, tiga pasien yang awalnya berada di zona merah sudah dipindahkan ke ruang rawat intensif. Hanya saja, belum termasuk anak yang tadi dibawa oleh Zello.
"Eh, aku dengar-dengar, salah satu pegawai baru itu anaknya Pak Direktur."
"Adeknya dokter Rean?!"
Rina dan Nara, dua perawat instalasi gawat darurat yang awalnya sedang merapikan obat langsung menoleh ke arah Rean. Laki-laki yang usianya sudah melewati seperempat abad itu mengernyit. Menggeleng pelan, seolah mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa.
"Aku lihat-lihat emang mirip, sih. Tadi, dia, 'kan, sempat ke sini. Ngantar anak yang kecelakaan itu."
"Oh! Anak yang di bed tiga itu dia yang bawa? Pantas, ayahnya Sp.JP., konsultan pula. Ibunya spesialis bedah, ada di manajemen. Kakaknya sekarang lagi jadi PPDS IPD. Gennya udah bagus dari sananya."
"Jangan-jangan, dia yang bakal jadi penerus ayahnya."
"Bukannya yang pasti jadi penerusnya itu dokter Rean, ya?"
"Saya ada di sini, loh. Masih aja diomongin." Rean mengangkat sebelah sudut bibirnya. Berharap kalau omongan mengenai keluarganya terhenti sampai situ. Lagipula ....
Apa-apaan Zello tadi?!
Sejak terakhir kali bertemu dengan sang adik, tidak ada sekalipun Rean mendengar bahwa Zello akan bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Entah karena komunikasi keduanya memang tidak terlalu baik atau opsi kedua, Zello sengaja merahasiakan hal tersebut. Ibu dan ayahnya juga tidak ada omongan sama sekali ketika di meja makan.
Yah, sebenarnya Rean juga tidak terlalu peduli. Ia hanya sedikit ... terkejut.
"Dok, adeknya umur berapa?"
"Nggak beda jauh dari umur Kakak," jawab Rean asal. Decakan pelannya terdengar. Ia pada akhirnya bangkit, merapikan scrub-nya yang sedikit kusut. Tanpa peduli lagi, kedua kaki jenjang Rean melangkah, hendak meninggalkan instalasi gawat darurat. Rean juga ingin beristirahat dahulu. Perutnya juga sudah mulai protes minta diisi sejak semalam. Untung saja, Rean belum membutuhkan obat lambung.
"Saya mau makan dulu, deh. Mumpung lagi sepi—"
"Dok, bicaranya!"
Tidak berapa lama kemudian, ada kabar bahwa baru saja terjadi kecelakaan beruntun. Rumah Sakit Amartya menjadi salah satu rumah sakit tujuan dan Rean pun harus menahan rasa laparnya lebih lama lagi.
•••
Langkah Zello terasa berat ketika ia berjalan di lorong rumah sakit. Dirinya baru saja mengantar salah satu pasiennya ke ruang operasi. Ia menghela napas panjang, kemudian duduk di kursi panjang yang ada di depan radiologi. Tangannya perlahan mengusap dada.
Hari ini sebenarnya tidak terlalu berat. Dari seluruh ruangan, hanya ada empat kamar yang benar-benar terisi. Hanya saja, sebagai pegawai baru, Zello tidak mungkin hanya duduk di nurse station. Hingga hampir seluruh pekerjaan di tim dua, ia yang mengerjakan.
Lalu, kedua manik gelap Zello menangkap sosok laki-laki yang paling dikenalnya. Senyum Zello mengembang. Tanpa mengacuhkan rasa lelahnya, Zello bangkit dan langsung menghampiri laki-laki tersebut.
"Kak Rean!" sapa Zello dengan semangat. Ia berdiri di hadapan Rean dan melambaikan tangannya. "Kita satu rumah sakit, tapi gue jarang banget ngeliat lo, kecuali tadi pagi. Yah, gue tahu, sih, kita beda departemen. Ngomong-ngomong, lo mau ke mana? Udah makan?"
Rean tidak menghiraukan keberadaan Zello. Segera, kedua kakinya kembali melangkah. Tidak ada sedikit pun keinginan Rean untuk menjawab pertanyaan sang adik.
Merasa tidak diacuhkan, Zello lantas berdecih. "Kak! Aduh, lo sibuk banget, ya, sampai istirahat sebentar aja nggak bisa?" Zello masih berusaha agar setidaknya, sedikit saja, sang kakak mengakui keberadaannya. "Kak, gue sampai kerja di sini biar kita bisa lebih sering ketemu, loh. Jangan cuekin gue, dong!"
Rean berdecak. Ia berhenti berjalan, kemudian membalik tubuhnya. Kedua manik matanya memperhatikan Zello yang sedang mengatur napas. "Selama 23 tahun lo hidup, bisa nggak, sekali aja nggak usah ngikutin gue?" tanyanya. Nada suaranya datar, tapi terdengar menusuk bagi Zello.
Senyum Zello luntur. Binar di kedua matanya meredup, hingga ketika Rean berjalan menjauh, ia tidak lagi berusaha menahan. Zello kembali menegakkan tubuhnya. Tangannya perlahan mengacak surai hitamnya yang memang sudah berantakan dari sananya.
Senyum miris Zello terbit. "Hah, gagal lagi, ya."
•to be continued•
A/n
Cerita baru memang lebih menggoda ehe.
Btw, agak sulit yah kalau nulis cerita kakak adek yang gak akur, padahal aku biasanya bikin yang gemes gemes :(
Mari ramaikan dan enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...