Chapter 31
Sonder
By saytheutic.
.
.Ucapan Zello terputus begitu saja saat kembali merasakan sesak yang menghampiri dadanya dengan kuat. Perlahan, ia bangkit dari tempat tidurnya. Tangan kanan mencengkeram dada, berharap nyerinya sedikit berkurang. Kepala Zello terasa pening, hingga ia lantas meringis pelan.
Panggilan Zello dengan Rean masih tersambung. Meski tidak ada suara sama sekali dari seberang sana. Zello lantas memutuskan panggilan dan meletakkan benda itu di atas meja belajar.
"Zel, kamu udah—" Suara Anggia terdengar, bersamaan dengan pintu yang dibuka. "Azel?! Kamu kenapa?"
Kedua kaki Anggia dengan cepat berlari menghampiri Zello. Ia memegang kedua pundak sang putra. Berusaha melihat wajahnya yang pucat serta dibasahi oleh keringat.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" paksa Anggia. Ia memapah Zello, berjalan ke luar kamar. "Ayah! Tolong—"
"Bunda!" Sosok Rendra muncul dari balik pintu kamar, sama paniknya. "Rean ... Rean kecelakaan."
•••
Anggia tidak pernah menyangka ia akan berada di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Amartya dengan kedua putranya terbaring di atas brankar. Padahal, semuanya baik-baik saja sampai ia mendapati Zello tengah kesakitan di kamarnya. Tidak lama, kabar buruk itu datang—Rean yang mengalami kecelakaan lalu lintas.
"Bun-da." Panggilan itu terdengar, begitu lirih. Tangan Zello yang lemah berusaha meraih tangan Anggia. Ia masih sadar betul ketika mendengar kabar mengenai kakaknya. Wajah yang pucat dan netra yang memerah langsung Anggia dapati, ketika menatap wajah putra bungsunya tersebut.
"Bun-da, Kak Rean ...." Suara Zello terdengar samar di balik masker oksigen. Saturasinya yang menurun tidak dapat diperbaiki hanya dengan nasal kanul. Rasa tidak nyaman sejak tadi masih menghampiri dada. Hasil elektrokardiogram menunjukkan atrial fibrilasi, irama jantung tidak beraturan dan sering kali cepat.
Zello sama sekali tidak memikirkan kondisinya sendiri. Satu hal yang ada di kepalanya hanya Rean. Laki-laki itu ingin bangkit dan langsung menghampiri sang kakak. Zello ingin memberikan sedikit kekuatannya yang tersisa pada Rean.
"Kak Rean ... gima-na keadaannya?" tanya Zello. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Padahal, Zello sedang menelepon Rean, tepat di saat insiden itu terjadi. Zello awalnya tidak menyadari apapun, terfokus pada nyeri di dada dan jantungnya yang berdebar kuat.
Anggia meraih tangan Zello dan menggenggamnya erat. Sementara sebelah tangannya lagi mengusap surai Zello yang basah karena keringat. Ia berusaha tersenyum, tidak ingin menjawab. Takut Zello akan lebih khawatir saat mendengar kondisi Rean yang juga sama mengkhawatirkannya.
"Kakak kamu aman, Zel. Ada ayah di sana." Anggia menghela napas panjang. "Kamu fokus sama diri kamu sendiri dulu, ya. Kalau ada apa-apa sama Rean, Bunda pasti bakal segera kasih tahu ke kamu."
Zello meringis pelan. Rasa takut yang menghantui mengalahkan rasa sakit yang ia rasakan. Berusaha, Zello membalas genggaman tangan Anggia.
"Aku takut, Bun," bisik Zello. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan air mata mengalir dari sudut matanya yang tertutup. "Aku takut Kak Rean bakal ninggalin aku."
Anggia menggeleng cepat. Zello tidak tahu kalau Anggia harus menahan tangisnya sejak tadi. Tidak pernah sekalipun ia berpikir akan berada di posisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...