Sonder
Chapter 5
By saytheutic.
.
."Hasil tanda vital ... diagnosis. Masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi." Zello bergumam pelan seraya mengetik catatan keperawatan. Kedua manik matanya fokus menatap layar, meski sebenarnya kedua telinganya mendengarkan ke sekitar.
Beberapa kali nama Zello disebut. Entah apa lagi yang mereka bicarakan, padahal semua itu belum terbukti. Untung, tidak ada pembicaraan yang menyakiti perasaan Zello, jadi ia bisa duduk dengan tenang.
"—tapi, kalau emang mau jadi direktur, gue senang-senang aja, sih. Kerjanya bagus. Siapa tahu, setelah ini gaji kita naik."
Zello lantas mengulas senyum. Agak sedikit terhibur, sebenarnya. Anggap saja semua itu adalah doa agar ia dapat berumur panjang dan meneruskan ayahnya.
Walau Zello juga tidak mau.
"Zel, kalau nanti mau beli makan, nitip, ya." Sebuah suara terdengar. Zello lantas menoleh, menatap Hira, seniornya yang kini sedang berdiri di dekatnya. "Oh, iya. Sebelumnya, tolong antar pasien di kamar enam bed dua ke PJT, ya. Mau kateterisasi. Terima kasih, Zel."
Zello mengangguk cepat sebagai jawaban. Tidak bisa menolak, karena, yah, memang itu tugasnya. Walau ada pekarya, namun ada beberapa pasien yang membutuhkan perhatian lebih. Mau bagaimanapun juga, pasiennya lebih penting.
"Iya, Kak," ucap Zello singkat.
Zello merenggangkan tubuh. Menatap sekitar karena merasa bosan. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, tepat di samping keyboard. Tidak ada hal yang menarik. Tetapi, jujur saja, Zello menyukai ketenangan ini.
Tidak berselang lama, lampu atas pintu di kamar nomor delapan menyala. Zello mengernyit, bangkit dari kursinya. Kedua tungkainya melangkah menuju kamar tersebut.
Ketika pintu dibuka, suasana kamar terasa berbeda. Zello masuk ke dalam, memperhatikan sekitar. "Ada yang memencet—"
"Kak!" Suara panggilan terdengar dari bed enam.
Mendengar panggilan itu, jemari Zello lantas membuka gorden hijau yang tertutup rapat. Awalnya masih tenang, hingga ia menyadari bahwa Rara, pasiennya, yang juga merupakan pasien ayahnya, tidak merespon ketika ia memanggil dan memberikan rangsangan nyeri. Tangan Zello secara serampangan menekan interkom yang ada di dekat bed. Sementara tangan sebelahnya lagi mencari nadi karotis di leher Rara. Napasnya memburu, efek terkejut dan panik sendiri. Kedua manik legamnya menatap dada, tidak ada pergerakan naik turun.
Ah, sial.
"Code blue! Kamar delapan bed enam! Tolong segera panggil TRC!" Zello berujar cepat. Tanpa menunggu waktu, ia memosisikan tubuh Rara agar benar-benar telentang. Lalu, dengan cepat, tangan kanan Zello diposisikan di atas dada, tepat di bagian setengah bawah sternum, sementara tangan kirinya berada di belakang punggung. Menarik napas panjang, Zello mulai melakukan resusitasi, menunggu Tim Reaksi Cepat datang dan membawa peralatan yang lebih lengkap.
Waktu terasa lambat menurut Zello. Hampir dua menit dan pintu baru saja terbuka. Tim Reaksi Cepat datang dengan troli emergensi. Melihatnya, lantas membuat senyum Zello merekah. Merasa lega, setidaknya penanganan lebih lanjut dapat dilakukan. Segera, monitor dipasang untuk melihat kelistrikan jantung.
Asistole.
Resusitasi dan pemberian napas buatan kembali dilakukan, namun tetap tidak ada perubahan. Waktu terus berjalan, tangisan mulai terdengar. Zello yang berdiri tidak jauh di belakang merasa tertular oleh aura keputusasaan yang mulai memancar.
"Tolong, berhenti ...."
Hingga kemudian, sebuah suara terdengar. Membuat seluruh individu yang ada di ruangan membeku. Tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Masing-masing menoleh ke sumber suara.
Zello yang berada di sebelah sang ibu melangkah mendekat. Mengusap lengannya perlahan. Berusaha untuk memberikan sedikit kekuatan yang bahkan sebenarnya telah habis saat melakukan resusitasi. Rasanya Zello ikut hancur, bahkan walau tidak memiliki hubungan sama sekali selain antara tenaga kesehatan dan pasien.
Zello melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. "Pukul sebelas lewat sepuluh."
•••
"Woah, Zel! Lo ngapain di sini?" Ghavi mengusap dadanya, sedikit terkejut saat ia keluar dari Pusat Jantung Terpadu, Zello tampak duduk di salah satu kursi tunggu. Ia sudah mengganti seragamnya dengan baju kasual—yang juga dipakainya saat berangkat tadi. "Lo udah dari tadi di sini?"
Zello tersenyum tipis sesaat. "Lo kangen makan bakso di dekat kampus nggak?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menjawab pertanyaan Ghavi sama sekali.
"Nggak terlalu. Kenapa?" Ghavi membalas. Kepalanya sedikit dimiringkan, heran sendiri dengan tingkah sahabatnya tersebut. "Ada masalah? Lo kelihatan sedih."
"Hm, sedikit." Zello menjawab singkat. Ia tidak lagi menatap Ghavi, tetapi beralih pada air mancur yang ada di dekatnya. Suara gemericiknya untuk sesaat membuat Zello merasa tenang.
"Serius?"
"Ghav, gue mau nanya." Zello menarik napas panjang. "Gimana caranya ... lo bisa terbiasa ngeliat pasien meninggal di depan mata lo?"
Ghavi mengernyit heran. Ia pada akhirnya memilih duduk di sebelah Zello. "Karena ... terbiasa," jawabnya. Agak bingung ingin menjawab seperti apa.
"Pasien gue tadi ada yang meninggal, padahal kondisi sebelumnya baik-baik aja." Zello lanjut berbicara. Suaranya terdengar bergetar. Bukan pertama kali ia menghadapi kematian seseorang di depan matanya, tapi kali ini rasanya berbeda.
"Terus?"
"Penyakitnya sama kayak gue." Zello tertawa pelan. Bukan karena merasa lucu, melainkan adanya rasa takut yang perlahan mulai merasuki dirinya. "Kok, bisa kebetulan gini, ya?"
Ghavi membeku di tempatnya. Ia menatap Zello prihatin. Tangannya perlahan terangkat, mengusap punggung laki-laki tersebut.
"Ghav, kalau setelah ini gue yang ngalamin, gimana?"
Ghavi membuang pandangan. Kedua manik cokelatnya enggan menatap Zello. Ia tidak tahu harus menjawab apa, karena menyemangati pun rasanya tidak banyak membantu.
"Lo sekarang udah aman, 'kan?" Ghavi balik bertanya. "Orang tua lo nggak mungkin ngebiarin lo ngalamin hal yang sama. Kakak lo ... mungkin juga sama. Gue juga. Lo nggak akan ngerasain hal yang sama."
Zello mengangkat kepala, menatap langit yang mulai menggelap, padahal saat ini baru pukul tiga sore. Kedua bola matanya tampak digenangi cairan. Ketika ia memejamkan mata, setetes air mata mengalir begitu saja.
"Lucu, ya." Zello berucap pelan. "Gue takut mati, padahal mati itu adalah hal yang pasti dialami semua orang. Tapi rasanya, Ghav ... gue belum siap. Apa waktu gue sebentar lagi?"
Zello mungkin tampak baik-baik saja, tapi terkadang, ia tidak bisa menutupinya. Rasa takut sebelum tidur sering kali ia alami. Di balik sikap santainya, nyatanya Zello tidak sesantai itu. Tidak semua orang dapat melihat sifat asli Zello, kecuali orang tua dan sahabatnya.
"Lo nggak akan mati sekarang," ujar Ghavi. Ia bangkit. "Gimana kalau kita makan bakso dekat kampus?"
Zello perlahan mengusap sudut matanya. Senyum terlukis di wajahnya yang tampak pucat sore hari ini. Perlahan, ia mengikuti pergerakan Ghavi untuk bangkit dari kursi tunggu.
"Ayo, kita makan bakso!"
Bagi Zello, setidaknya ia tidak akan mati. Demi semangkuk bakso, atau demi es krim yang biasa ia makan. Setidaknya ....
Sampai dirinya dan Rean dapat akur, seperti sewajarnya saudara.
•to be continued•
A/n
Tetap update walau sedang sakit kepala wkwkwkwk

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
Narrativa generaleAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...