Chapter 6

3K 365 25
                                    

Sonder
Chapter 6
By saytheutic

.
.
.

"Dok, hasil rontgen pasien yang masuk karena jatuh dari ketinggian tadi udah keluar. Hasilnya agak aneh." Kedua manik mata Nara menatap layar komputer, di mana hasil rontgen terpampang. Tidak ada fraktur, tidak ada perdarahan. "Semuanya aman."

"Serius?" Rean bertanya, ikut mengintip hasil rontgen tersebut. "Jatuh dari ketinggian enam meter, loh. Masa aman?"

"Serius banget. Tuh, lihat, deh." Nara menunjuk hasil rontgen dengan jemarinya. Sesekali tampak melirik Rean.

"Keluhan pasien?" Kembali, Rean bertanya. Heran karena apa yang dilihatnya terasa tidak masuk akal.

Nara menggeleng perlahan. "Pas tadi lagi masang infus, saya tanya keluhannya cuma haus. Nggak ada mual, muntah, nyeri, sakit kepala, pusing, apa lah itu. Sekarang lagi minum es teh, sih. Nggak tahu siapa yang ngasih," jawabnya. Kedua manik matanya kemudian menerawang. "Oh, iya. Anehnya lagi, pas saya coba pasang infus, pertama kalinya nggak bisa ketusuk sama sekali. Kayak ... sulit?"

Rean mengernyit heran. Makin merasa pusing karena apa yang didengarnya makin tidak masuk akal. Tidak mungkin, 'kan, jarumnya tumpul?

"Setelah baca bismillah, baru bisa ketusuk!" Nara berucap heboh. Untung saja, suasana instalasi gawat darurat sedang tidak ramai. Hanya ada satu atau dua orang yang mendengar, dan salah satunya adalah Rean. "Kebal nggak, sih, Dok?"

"Nggak tahu, saya nggak paham masalah itu." Rean memijat pelipisnya perlahan. Walau begitu, kasus yang dihadapinya benar-benar aneh. Atau ... hal semacam itu memang ada?

Kedua tangan Nara menyangga dagunya di atas meja. "Menarik, ya," ucapnya pelan. "Saya cuma sering nemu kasus penggunaan susuk. Tahu, 'kan, Dok? Pasiennya sampai susah meninggal. Kalau begini, tuh ... sama aja nggak, ya?"

"Kak, saya juga nggak paham masalah ilmu-ilmu begitu." Rean melambaikan tangannya. Kedua manik matanya menatap ponsel yang ada di genggaman tangannya, sedang membalas pesan dari Anggia yang menanyakan pukul berapa ia akan pulang. "Sesat, sesat. Nggak usah dipikirin. Selama kita udah ngasih perawatan terbaik, ya udah."

Nara mengangguk setuju. "Benar juga," balasnya. Kemudian, tubuh Nara menegak. Ia menatap Rean lekat-lekat. "Oh, iya, Dok. Kalau mau nanya soal adeknya, boleh nggak?"

Zello lagi, batin Rean bersuara. Sudah cukup pagi ini ia mendengarkan gosip yang beredar mengenai dirinya. Saking hebohnya, yang Rean sendiri tidak tahu kenapa topik mengenai adiknya menjadi populer untuk dibicarakan.

"Saya nggak tahu apa-apa soal dia. Kalau mau tahu, tanya sendiri aja ke orangnya," jawab Rean cepat, sebelum Nara kembali mengajukan pertanyaan. Toh, jawaban itu memang benar.

Sejak kecil, Rean memang tidak pernah dekat dengan Zello. Apalagi, sejak mengetahui mengenai penyakit yang adiknya itu derita. Perlakuan kedua orang tua yang berbeda lalu memaksa Rean untuk berpikir bahwa kasih sayang ayah dan bunda pada dirinya tidak setulus pada Zello. Iri mungkin sudah menjadi cerita lama, karena lama-kelamaan, Rean menganggapnya sebagai seorang rival.

Zello yang selalu dibanggakan, namun Rean yang selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Agak menyebalkan, karena hingga kini hidup Rean seperti masih disetir oleh kedua orang tuanya. Entah sampai kapan, bahkan Rean tidak dapat lagi menebaknya.

"Yah, sayang banget." Nara kembali berbicara. Ia tertawa pelan, sebelum bangkit dari kursinya. "Ya udah kalau gitu. Padahal lumayan, siapa tahu cita-cita saya bisa tercapai. Jadi direktur rumah sakit atau jadi istri dari anaknya direktur rumah sakit."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang