Chapter 27

2.7K 334 45
                                    

Chapter 27
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Rean selalu suka angin malam. Jika sedang bosan, ia akan duduk di balkon, menatap langit gelap tanpa berhias bintang. Sembari menyesap cokelat hangat yang terkadang diseduh oleh Anggia.

Tapi kali ini, Rean memilih untuk duduk di ayunan taman-yang meski ayunannya terasa sangat kecil, namun tidak mengurangi antusiasme Rean untuk mengayunkannya. Angin yang berembus membuat Rean menggigil, namun hanya sesaat senyumnya terbit. Kalau boleh, Rean ingin merasakan ketenangan ini seumur hidup.

Hingga sesosok laki-laki berjalan mendekat. Kedua tangan dimasukkan ke saku jaket. Sementara itu, kedua lubang telinganya tersumpal headphone. Entah apa yang sedang ia dengarkan, Rean tidak bisa menebak.

"Ada apa?" Zello, laki-laki yang barusan datang menghampiri, bertanya. Ia duduk di ayunan sebelah dan mengalungkan headphone-nya ke leher. Raut wajah yang datar tanpa senyum menjadi penyambut ketika Rean menatap wajah pucat tersebut

"Kecelakaan anak kecil itu, di taman ini, 'kan?" Rean buka suara. Sementara Zello malah mengedikkan bahu. "Gue jadi ingat, itu pertama kali gue tahu kalau lo kerja di Amartya. Kenapa lo nggak ngasih tahu duluan?"

"Lah, setiap gue ajak ngomong, lo, 'kan, selalu melengos gitu aja," jawab Zello. Ia melipat kedua lengannya di depan dada. "Lagian juga, mau gue kerja di Amartya, atau rumah sakit lainnya, nggak ada urusannya sama lo."

Rean lantas tersenyum kecut. Zello memang terdengar seperti tidak ingin berbicara, tetapi kalimat yang diungkapkannya tetap panjang. Sejak awal, Rean tahu adiknya itu memang hobi berbicara.

"Gue kira lo mau kerja di rumah sakit pusat jantung," ceplos Rean.

"Gue pasien jantung, Kak, kalau lo lupa. Nggak enak rasanya gue ngerawat orang yang punya penyakit sama kayak gue." Zello berdecak pelan. Meski begitu, ada banyak anak dengan penyakit yang sama. Zello sendiri lantas merasa sedih, namun juga berpikir bahwa anak-anak itu dapat bertahan hingga dewasa, sama seperti dirinya.

"Oh, ya." Rean mengusap bagian belakang lehernya. "Penyakit lo ... udah sampai mana? Gue bukan kardio, tapi sering ketemu dokter Kiran juga di PJT. Cuma, yah, gue nggak berani nanya."

Zello diam sejenak. Ia menatap Rean dalam-dalam. Lalu, ia menghela napas panjang, seraya berkata, "Tujuan lo nanya itu buat apa, Kak? Lo kasian sama gue?"

"Gue nggak kasian—bukan, bukan itu maksud gue." Rean melambaikan tangannya. "Gue kasian, tapi bukan berarti gue kasian. Gue, ah, gimana sih, ngomongnya? Ya, gue kasian, tapi bukan berarti gue cuma kasian sama lo."

"Kak, lo nggak jago buat berkomunikasi." Zello lantas terkekeh pelan. "Gimana ceritanya lo mau jadi dokter, tapi buat komunikasi sama orang aja masih bikin salah sangka?"

Rean menggeram pelan. Kedua tangan yang berada pada rantai ayunan terkepal kuat. "Gue nggak pernah berharap jadi dokter," akunya.

Zello lantas tersenyum tipis. Ia menatap ke depan, ke arah pohon bambu yang gelap. Salah kira sedikit pada batang pohon yang bersembunyi. Tarikan napas yang perlahan, diikut oleh suaranya yang terdengar begitu lembut.

"Gue tahu," ucapnya. "Lo jadi dokter karena dipaksa sama orang tua kita. Pilihan lo cuma dua, bukan? Lo jadi dokter atau jadi perawat. Pilihan lo, akhirnya lo ngikutin ayah."

Wajah Rean tampak pias. Ia bahkan tidak tahu apa-apa mengenai Zello. Tetapi, adiknya itu seolah bisa menelanjanginya.

"Selama ini, gue selalu peduli sama lo, Kak. Walau kita lagi berantem, atau komunikasi kita nggak bagus. Gue ... pengin jadi salah satu orang yang tetap bisa mendukung lo buat tetap hidup."

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang