Chapter 29

3.1K 365 26
                                    

Chapter 29
Sonder
By saytheutic

.
.
.

Melihat kedua putra petinggi rumah sakit berjalan di lobi bersama adalah hal yang jarang terjadi di Rumah Sakit Amartya. Hal tersebut lantas mematahkan spekulasi para pecinta gosip yang menyebutkan bahwa kedatangan Zello adalah untuk merebut takhta sang kakak. Jelas, di awal keduanya tidak pernah terlihat akur sedikit pun.

Namun, baik Zello maupun Rean, tidak ada yang peduli dengan mereka. Toh, wajar bagi keduanya untuk berada di lobi bersama. Tanpa berseteru.

"Lucu, ya. Beberapa bulan lalu, mana mungkin lo mau jalan sama gue gini. Palingan, kabur duluan pas lihat gue." Zello tiba-tiba berujar. Ia menatap wajah sang kakak yang tanpa ekspresi. "Ngomong-ngomong, untung sepatu lo cocok, ya. Gue susah banget nyari yang cocok buat lo."

"Oh, sepatu ini dari lo? Thanks, ya." Rean melirik sepatu yang digunakannya. Sedikit tidak menyangka karena justru benda tersebut adalah pemberian Zello. Sempat menuduh Anggia yang tidak mau mengaku, tapi ternyata tuduhannya salah. "Lo beli kapan?"

"Sebelum ulang tahun lo," jawab Zello singkat.

"Bukannya lo dirawat di ICCU pas itu?"

Zello tertawa pelan. Tidak menyangka bahwa sang kakak akan menanyakan hal tersebut. "Gue pesan sebelum ulang tahun lo, Kak. Beberapa hari sebelum gue collapse," ucap Zello pada akhirnya. "Gue tahu, sih, seharusnya nggak boleh ngasih hadiah sepatu ke orang. Katanya, artinya nggak begitu baik. Kalau yang gue baca di internet, ngasih sepatu, tuh, bisa bikin orang pergi dari hidup kita. Tapi, gue nggak percaya, sih."

"Kalau misal itu beneran, gimana?"

Zello berhenti berjalan, yang lantas ikut membuat Rean berhenti. Kedua kelopak itu mengerjap beberapa kali. Pertanyaan Rean yang tiba-tiba justru membuat otak Zello terasa kosong.

"Hm, nggak tahu," jawab Zello, setelah diam sekian detik. "Kayaknya, kalau di skenario takdir, justru gue yang ninggalin, bukan gue yang ditinggalin. Jadi, gue nggak pernah punya pikiran kalau lo, bunda, atau ayah pergi ninggalin gue."

"Padahal, takdir nggak ada yang tahu, ya?"

"Kak, lo jadi nyeremin." Zello bergidik ngeri. Sedikit mengernyit heran karena kakaknya itu tidak seperti biasa. "Gue mau ke ruangan dulu, ya. Nanti pulang gue sendiri aja. Gue tahu lo bakal pulang tengah malam lagi. Kalau lo mau, gue bisa siapin makan—"

"Nggak usah, gue nggak pulang malam ini," potong Rean. "Lo ... semangat kerjanya, ya."

Zello tersenyum dan mengangguk beberapa kali. "Lo juga semangat, ya, Kak. Jangan lupa makan. Kalau nggak makan, nanti lo sakit lagi. Gue nggak mau—"

"Zel, mending lo ke ruangan. Bentar lagi, waktunya operan, 'kan?"

"Iya, juga." Zello lagi-lagi mengangguk perlahan. Ia menepuk pundak Rean dua kali. "Ya udah, gue ke ruangan dulu, ya, Kak. Bye-bye!"

Rean balas melambaikan tangan. Menatap Zello yang masih tampak bersemangat, meski dengan diagnosis berbahaya yang jelas belum bisa benar-benar diobati. Perlahan, ia mengembuskan napas seraya berbalik arah.

Harus Rean akui, ia salut dengan semangat Zello. Tidak bisa dirinya bersikap sama, meski sudah mencoba. Nyatanya, keduanya benar-benar berbeda. Mungkin, seharusnya Rean saja yang sakit, bukan Zello.

"Mungkin emang seharusnya lo yang terus hidup, Zel. Bukan gue."

•••

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang