Chapter 26
Sonder
By saytheutic.
.
."Kenapa lo? Lesu banget?" Zello bertanya, tepat ketika melihat Ghavi keluar dari PJT. Sudah berganti baju, tetapi tetap terlihat kusam. "Nggak pas masuk kerja, pas pulang kerja, tetap sama, ya."
"Pasien gue ada yang meninggal hari ini," jawab Ghavi. Ia menghela napas panjang dan duduk di sebelah Zello. Kaki yang terasa pegal diluruskan, hampir menghalangi jalan. "Pas banget jam dinas mau habis, code blue. Jadi, gue pegal banget."
Zello diam sejenak, menatap Ghavi dalam-dalam. "Tapi, lo udah biasa, 'kan?" Ia kembali bertanya. Selalu merasa mendung saat mendengar kabar seseorang berpulang. Meski tidak mengenalnya, tapi rasanya berbeda saat Zello memiliki permasalahan yang hampir sama.
"Biasa. Paling capek doang. Napas sisa satu-satu," balas Ghavi. "Lo sendiri gimana? Lo sama dokter siapa, sih? Jadi lupa, padahal selama di ICCU kemarin, pada ribut sendiri karena lo."
"Dokter Kiran." Zello menjawab singkat. Ia sebenarnya tidak ingin membicarakan masalah itu sama sekali. Memang, sih, tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya saja ....
"Hidup gue kayaknya selalu gagal, ya, Ghav."
Ghavi lantas menatap Zello heran. "Hidup lo selalu gagal? Sejak kapan? Bukannya lo selalu berhasil, ya? Nilai kuliah lo juga bagus."
"Pertama, hubungan gue sama kakak gue." Zello diam sejenak. "Kedua ... he-he, jantung gue juga ikutan."
"Maksud lo?"
"HF FC III, katanya, sih. Ah, gue nggak begitu ngedengerin tadi," jelas Zello pada akhirnya. "Gue nggak ngerti, Ghav. Kok, bisa, ya? Berarti, aktivitas fisik sehari-hari juga sulit buat gue, ya?"
Ghavi diam, tidak berani berbicara sama sekali. Tangannya yang dingin kemudian saling menggenggam. Ghavi kemudian menunduk, tidak berani melihat Zello sedikit pun. Laki-laki itu mungkin tersenyum, tetapi tidak ada yang tahu isi hatinya.
"Lo kepikiran nggak, sih? Padahal gue sendiri penyakitan, tapi malah milih jadi perawat." Zello melanjutkan, nada suara terdengar bergetar, hanya saja Zello tidak terlalu peduli. Rasanya sesak, namun ingin menangis juga sudah tidak bisa. "Harusnya gue nyerah aja, ya, Ghav? Sejak gue masuk kuliah, seharusnya gue tahu kalau umur gue mungkin nggak akan panjang."
"Lo nggak bisa ngomong sembarangan soal umur, Zel. Lo bukan Tuhan. Jangan berani-beraninya." Ghavi akhirnya kembali buka suara. Ia tidak suka melihat orang yang pesimis, apalagi statusnya adalah sahabat. Kalau bisa, Ghavi mungkin akan mengambil set hecting dan menjahit bibir Zello.
Zello diam. Ia kemudian menunduk dalam, menatap kedua kakinya yang menggunakan sepatu hitam. Rasanya begitu menyakitkan ketika harus terlihat baik-baik saja, padahal tidak. Zello ingin marah pada takdir, namun rasanya tidak sanggup.
"Gue pengin naik roller coaster, tapi hidup gue kayak roller coaster." Bisikan Zello terdengar lirih. "Gue capek banget berharap gue bisa sama kayak orang lain. Kayaknya ... udah terlalu jauh, ya, Ghav? Rasanya, kayak nggak ada orang yang jujur sama gue. Bahkan kakak gue sendiri."
"Lo udah tahu soal kakak lo?" balas Ghavi.
Zello tertawa pelan. "Bodoh banget, ya. Pas itu gue malah ngebela dia dan nggak dengerin omongan lo," ucap Zello getir. "Gue nggak tahu lagi apa gue masih punya semangat buat hidup atau nggak. Orang tua gue mungkin masih nahan gue, tapi gue yakin mereka nggak bakal sulit buat ngelepasin gue. Karena ... nyatanya, masih ada Kak Rean, 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...