Sonder
Chapter 10
By saytheutic.
.
."Selamat pagi, Kak!"
Sapaan itu terdengar begitu Rean memasuki area ruang makan. Ia lantas mendengkus, berjalan menuju kulkas tanpa membalas sedikit pun. Kedua mata yang masih mengantuk tersebut sejenak melirik Zello. Adiknya itu tampak menyiapkan sarapan di atas meja. Senyum tersungging di bibir, yang justru membuat Rean merasa aneh sendiri.
Seingatnya, kemarin Rean mendengar gosip mengenai Zello yang sakit saat di ruangan. Tetapi, berbanding terbalik, Zello tampak sangat semangat. Hanya berselang kurang dari 24 jam, kondisinya terlihat benar-benar sehat.
Apa gosip mengenai Zello yang hanya sakit ringan itu benar adanya?
"Hari ini, gue masakin makanan spesial buat lo." Zello kembali berujar. Tangannya memotong daun bawang, kemudian menaburkannya ke masakan yang sudah tersaji di atas meja. Hanya berupa nasi goreng biasa, tapi Zello menyiapkannya dengan sepenuh hati.
"Nggak usah repot-repot," ucap Rean. Ia meraih sekotak susu, sebelum duduk di meja makan. "Gue udah bilang, bukan? Lo nggak usah masak buat gue."
Kedua tangan Zello terlipat di depan dada. Ia berdecak beberapa kali. "Mumpung gue masih bisa masak, gue nggak akan berhenti masak buat lo," katanya, penuh semangat. Binar terlihat di kedua manik legamnya. "Apalagi, lo butuh makan yang banyak. Gue tahu, kerja di IGD pasti capek banget. Lo pasti sering telat makan. Iya, 'kan? Seenggaknya, kalau lo sarapan, lo bisa dapat energi lebih."
Mendengar ocehan Zello, lantas membuat Rean merotasikan kedua bola matanya. "Tujuan lo apa, Zel?" Ia bertanya, menatap Zello dengan kedua netranya yang tajam.
"Tujuan gue?" cicit Zello. Ia mengerjap beberapa kali. Kedua tangannya meluruh ke samping tubuh. "Maksud lo? Tujuan apa?"
"Tujuan lo bersikap kayak gini. Buat apa?" Rean mengulangi pertanyaannya. "Udah berkali-kali gue bilang, Zel. Lo nggak usah repot-repot. Udah cukup tiap hari gue dengar nama lo disebut di IGD. Nggak ada puas-puasnya ngeganggu hidup gue."
Zello menunduk, berusaha untuk tidak bertatapan dengan Rean. Apa yang dilakukannya selama ini hanya agar membuat keduanya akrab. Apa ... Rean benar-benar tidak ingin memperbaiki hubungan mereka?
"Gue nggak ada maksud apa-apa," balas Zello. "Apa salah sebagai seorang adik pengin memperlakukan kakaknya dengan baik? Seharusnya begitu, 'kan, sebagai saudara?"
"Gue bahkan nggak pernah mikir punya adek kayak lo." Kedua lengan Rean terlipat di depan dada. "Selama ini nyari atensi Ayah sama Bunda, tapi nggak cukup, ya? Sekarang satu rumah sakit harus tahu kalau gue punya adek semacam lo? Cukup, Zel. Mau sejauh apa lagi?"
"H-hah?" Zello tidak dapat berucap lagi. Kedua tangan Zello terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Raut tersakiti tampak jelas di kedua matanya. Lalu, senyumnya terbit, begitu tipis. "Gitu, ya?"
Zello menggigit bibirnya lembut. Kepalanya terangkat, kali ini menatap Rean lekat-lekat, tepat di manik mata yang persis seperti miliknya. "Gue selama ini selalu berpikir gitu. Tapi, ada satu sisi di diri gue yang mikir kalau lo tetap mengakui gue sebagai seorang adik. Ternyata ... enggak, ya?" Desahan Zello muncul, penuh dengan kekecewaan.
Zello dihancurkan oleh ekspektasinya sendiri. Berharap kalau dirinya akan memiliki hubungan yang baik dengan sang kakak. Setidaknya, sebelum waktunya habis, Zello ingin merasakan bagaimana rasanya disayang oleh seorang kakak.
Dengan cepat, Zello mengusap genangan cairan yang ada di sudut matanya. Tarikan napasnya terasa sesak, hingga membuatnya mundur selangkah. Tangan Zello perlahan meraih sandaran kursi.
"Permintaan gue mungkin terlalu berat, Kak. Gue cuma pengin sekali aja ... lo panggil gue dengan sebutan adek." Zello menunduk dalam, berusaha untuk menyunggingkan seulas senyum, namun terasa berat. Ia bahkan tidak lagi berani menatap Rean. "Maaf, mungkin gue terlalu mengganggu lo, ya, Kak? Lo pasti nggak suka sama kehadiran gue. Maaf karena gue terlalu berusaha dekat sama lo. Maaf karena udah hadir di hidup lo."
Kedua kaki Zello seolah melemah. Ia ingin pergi, tetapi tubuhnya tidak sanggup untuk beranjak. Biar saja Rean yang pergi terlebih dahulu.
"Gue minta maaf. Gue nggak akan ganggu lo lagi." Napas Zello putus-putus. Berusaha keras ia menahan isakannya sendiri. "Lo nggak perlu takut. Gue mungkin nggak akan pernah muncul lagi di hadapan lo. Lo nggak perlu takut keganggu sama eksistensi gue."
Suara decitan kursi terdengar. Rean bangkit, menatap Zello, agak sedikit merendahkan. Ia berdecih pelan, ssbelum membalik tubuh.
"Bagus kalau begitu."
Langkah kaki terdengar menjauh, lantas membuat Zello mengangkat kepala. Sosok Rean sudah tidak ada di hadapannya. Hanya tinggal Zello sendiri, di ruang makan yang terasa dingin.
Tubuh Zello lantas meluruh. Ia tidak sanggup untuk menahan emosinya sendiri, sampai-sampai rasanya jantungnya akan meledak. Air mata mengalir dengan semena-mena melalui kedua pipinya yang memerah.
"Maaf, Kak ...." Bibir Zello bergetar. "Kalau gue bisa, gue juga mau menghilang sekarang."
•••
Zello izin tidak masuk, begitu kabar yang Ayu dapatkan pagi hari ini. Kondisinya memang membaik, tetapi ia butuh istirahat seharian penuh sebelum bisa berdinas kembali. Hal itu pula yang disampaikan oleh Anggia.
Ayu sendiri tidak bisa menolak perkataan kepala departemen. Hidupnya yang tidak begitu mulus, tidak ingin dijadikan lebih parah lagi. Setidaknya, Zello berjanji akan mengganti waktu dinasnya keesokan hari atau lusa.
"Anak baru itu nggak masuk, Bu?" Ayu yang awalnya sedang mengecek kelengkapan catatan lantas menoleh. Ara, salah satu rekan kerjanya yang menjabat sebagai ketua tim satu, berujar. "Baru beberapa hari kerja, udah nggak masuk aja. Kecapekan? Baru kerja sebentar."
"Iya." Ayu menjawab singkat, tidak ingin memperpanjang obrolan.
"Jangan terlalu dimanjain anak kayak begitu, Bu. Mentang-mentang anak direktur, kelakuan seenaknya." Ara berdecih pelan. "Jadi pegawai, ya, seharusnya bersikap kayak pegawai pada umumnya. Malah ngegunain jabatan orang tua biar kerjanya lebih enteng. Untung aja anak itu nggak masuk ke tim saya."
"Udah, Kak. Kita juga nggak tahu cerita sebenarnya gimana. Mungkin emang lagi kecapekan banget," ucap Ayu. Ia menepuk pundak Ara dua kali. "Kerjanya juga sejak kemarin bagus, orang tua pasien banyak yang titip salam buat dia, loh. Mendingan, Kakak lanjutin, nih, catatan masih ada yang kurang."
"Ya, ya. Untung kerjanya bagus. Kalau enggak, berarti benar kalau dia cuma ngandelin orang tuanya."
"Kak, udah."
Obrolan berhenti begitu saja saat Ara berdecak beberapa kali. Merasa bahwa pegawai baru tersebut terlalu diperlakukan spesial. Hanya karena kedua orang tuanya.
•to be continued•
A/n
Kok hubungannya makin parah anjir

KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
General FictionAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...