Chapter 25

3.2K 375 21
                                    

Chapter 25
Sonder
By saytheutic

.
.
.

"Bodoh, bodoh, bodoh. Lo bodoh banget, Zel." Zello mengacak surainya, kesal pada diri sendiri. Merasa bahwa sang kakak tulus padanya, ternyata ia hanya berharap.

Dengan cepat, Zello membuka pintu kamar. Tanpa mengganti baju terlebih dahulu, Zello berbaring di atas kasur. Membiarkan dirinya tenggelam di antara bantal dan guling.

Sejak mendengar ucapan Rean, Zello tidak bisa fokus sama sekali. Hampir ia kena tegur ketika sedang hand over. Ditambah, dirinya langsung kabur begitu saja, tepat ketika salam penutup diucapkan, bahkan tanpa mengganti seragam.

"Kenapa pula gue pake acara percaya sama sikapnya?" Zello menggeram pelan. Ia berguling ke kanan dan ke kiri. Hingga berakhir menenggelamkan wajahnya di bantal. "Seharusnya lo sadar, Zel. Kakak lo nggak mungkin tiba-tiba baik sama lo. Kalau nggak terpaksa, pasti karena kasihan. Kenapa pake percaya sama sedikit perhatiannya?"

Merasa kesal, kedua tangan Zello lantas terkepal. Ia tidak tahu apa saja perasaan yang merasuki dadanya. Hingga rasa sesak datang menyiksa, membuat Zello tidak dapat kembali berbaring.

Bukan hanya kemarahan, tapi juga kekecewaan yang begitu mendalam. Zello mungkin selalu berharap, hanya saja, bukan ini hal yang ia inginkan. Jika memang Rean berakhir peduli padanya, Zello hanya ingin hal tersebut benar-benar berasal dari hatinya.

Suara ketukan yang kemudian terdengar lantas membuat Zello bangkit. Seraya menyeret kaki, Zello berjalan menghampiri pintu. Sejak tadi, ia memang memutuskan untuk menguncinya saja. Berharap tidak ada yang langsung membuka pintu dan melihatnya tampak mengenaskan.

Begitu pintu mengayun terbuka, sosok Rean tampak berdiri di baliknya. Dengan senyum di bibir, yang bahkan tidak pernah Zello lihat sama sekali. Helaan napas Zello lantas terbit. Dari sekian banyak orang, kenapa pula sang kakak yang berdiri di balik pintu?

"Ada apa?" Zello bertanya ketus. Ia sebenarnya ingin membanting pintu begitu saja saat mendapati sosok Rean.

"Lo udah makan?" Pertanyaan itu terdengar, membuat Zello berdecih pelan.

"Jangan sok peduli sama gue, pake nanya gue udah makan atau belum," cibir Zello. "Gue nggak ada nafsu makan dan gue mau tidur. Lo nggak usah-"

"Zel." Rean memotong ucapan Zello begitu saja. "Gue belum makan. Lo ... bisa tolong masak buat gue?"

Zello berdecih pelan. Ia membuka pintu lebih lebar lagi, kemudian berjalan melewati Rean begitu saja. Tidak peduli bahunya yang menabrak bahu Rean, Zello berjalan menuruni tangga.

"Sekali ini aja. Setelah itu, gue nggak peduli lo udah makan atau belum."

•••

Rean duduk di meja maka, memperhatikan Zello yang sedang membuka bungkus mie instan. Katanya, adiknya itu sedang tidak berminat untuk memasak, hingga mie-yang entah sejak kapan ada di lemari makan, menjadi pilihan akhir. Rean menerima saja.

Suasana hening di antara keduanya. Zello yang terbiasa berbicara banyak, kini memilih diam. Sementara itu, Rean merasakan kecanggungan yang luar biasa. Ditambah dirinya yang tidak terbiasa mengisi suasana.

"Zel," panggil Rean pada akhirnya. Sementara yang dipanggil tidak menyahut sama sekali. "Udah lama sejak terakhir kali gue makan masakan lo."

"Lo makan masakan gue terakhir pas lo sakit," balas Zello. "Baru kemarin."

"Oh, iya." Rean mengusap belakang lehernya kikuk. Merasa bodoh karena ucapannya sendiri. "Lo ... emang suka masak, ya?"

SonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang