Sonder
Chapter 14
By saytheutic.
.
.Sejujurnya, tidak ada yang lebih melelahkan dibanding harus datang pagi, setelah semalam tidur terlalu larut. Hal tersebut membuat Rean menyesal. Seharusnya, ia memanfaatkan waktu istirahatnya untuk memejamkan mata, bukan bermain game sambil menonton film kartun.
Akibatnya, pagi ini Rean sedikit mengantuk. Sedikit beruntung karena kondisi instalasi gawat darurat tidak terlalu ramai, Rean lebih memilih duduk di nurse station dan merebahkan kepala. Beruntung juga, kondisi pasiennya di ruang rawat berangsur membaik. Setelahnya, mungkin Rean akan kembali mengatur waktu agar bisa tetap beristirahat.
"Dok, semalam nggak ikut ngantar ibunya?"
Sebuah pertanyaan terdengar, lantas Rean mengangkat kepala dan menoleh. Heran sendiri dengan pertanyaan tersebut. Alisnya tertaut, kemudian menggeleng.
Semalam, Anggia memang pergi begitu saja. Tanpa meminta diantar, tanpa memberi penjelasan. Rean juga lama-kelamaan mengantuk, hingga lupa bahwa bundanya itu pergi dan belum kembali ketika pagi tiba. Tanpa terlalu memedulikan kondisi tersebut, Rean berangkat ke rumah sakit.
"Kok, kamu tahu kalau ibu saya pergi semalam?" Rean malah balik bertanya.
Atau jangan-jangan ....
"Loh, Dokter nggak tahu?" Rean lagi-lagi menggeleng pelan. "Adik Dokter semalam collapse. Terus, pas coba hubungi nomor darurat, ternyata ke ibunya. Sekitar pukul—"
"Tiga pagi?" Rean mengerjap beberapa kali. "Sebentar, sebentar. Adek saya? Collapse? Karena apa?"
"Cardiac arrest, Dok. Tadi, sebelum Dokter datang, udah dipindahin ke PJT, sih." Tatapan aneh terasa menusuk Rean. Seolah mempertanyakan kenapa ia bisa tidak tahu dan malah meminta penjelasan.
Sedikit tidak percaya, Rean bangkit. Ia izin ke ruang istirahat sebentar, sebelum mengambil ponsel yang ada di saku scrub-nya. Jemarinya mengetik nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala, kemudian ia dekatkan benda itu ke telinganya.
"Halo, Bun. Bunda di mana? Boleh aku ngobrol sebentar?"
•••
Rean sudah sering menginjakkan kaki di ruang tunggu ICCU. Terkadang, jika Rean ingin mengistirahatkan kaki di sana, ia akan duduk sebentar, terkadang malah mengobrol dengan keluarga pasien yang juga sedang menunggu. Agak melelahkan, tetapi lama-lama Rean sudah terbiasa.
Kali ini, kunjungannya bukan untuk mengunjungi pasien. Ketika kedua netra Rean menangkap sosok Anggia sedang duduk di salah satu kursi panjang, kedua kaki jenjangnya melangkah mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Membuat wanita itu sedikit terkejut, namun kemudian menyunggingkan senyum tipis.
"Kamu lagi nggak ada pasien, sampai bisa ke sini?" tanya Anggia.
"Bunda sendiri kenapa di sini? Nggak ada kerjaan?" Rean balas bertanya. "Bunda semalam nggak jawab pertanyaan aku, ternyata alasan Bunda pergi tiba-tiba, buat ke sini."
Anggia mengangguk pelan. Ia tidak akan bisa menyembunyikan apapun. Masalahnya, Rean juga berada di rumah sakit yang sama. Kabar itu sudah menyebar sejak tadi, sampai tenaga medis ataupun kesehatan yang berpapasan dengannya, bertanya.
Zello sendiri sudah berpesan pada Anggia untuk tidak memberitahu kondisi terkininya pada Rean. Lagipula, kakaknya itu tidak akan peduli sama sekali. Mungkin malah sedikit senang karena pengganggunya bisa menghilang sewaktu-waktu.
"Rean ... kenapa kamu ke sini?" Anggia lagi-lagi bertanya. Rautnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Senyumnya tidak juga luntur, tetapi seolah menusuk Rean.
Rean menggeleng pelan. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba menelepon Anggia dan bergegas ke PJT. Seperti ada yang menariknya.
"Zello ... sejak kapan dia begitu?" Rean bertanya. Suaranya terdengar pelan. "Sejak kemarin dia sehat-sehat aja. Kenapa tiba-tiba ...."
Anggia mengembuskan napas panjang. "Kenapa?" Ia meraih tangan Rean dan menggenggamnya erat. "Bukannya kamu selama ini nggak peduli sama kondisi adek kamu sendiri?"
Rean membeku. Pertanyaan Anggia seolah menyentil perasaannya. Membuatnya perlahan bergerak tidak nyaman, hingga genggaman tangan Anggia terlepas.
"Aku cuma pengin tahu," jawab Rean pada akhirnya. "Bukannya katanya dia udah sembuh? Terus, kenapa tiba-tiba bisa kena serangan lagi?"
"Kalaupun kamu tahu, kondisinya juga nggak akan berubah, Yan." Senyum Anggia luntur. "Azel juga bilang ke Bunda, buat nggak usah ngomong ke kamu. Kamu juga selama ini nggak peduli. Sekarang, kamu senang?"
"Aku nggak bilang kalau aku senang."
"Tapi, Bunda tahu. Selama ini kamu nggak suka sama adek kamu, 'kan? Kamu pengin dia pergi dari hidup kamu. Kalau begitu, kamu baru bisa hidup tenang. Begitu?"
Wajah Rean mengeras. "Bunda paham itu, tapi kenapa Bunda nggak pernah paham sama perasaan aku sejak dulu?" Suara Rean terdengar lirih. Ia menunduk dalam. "Aku jadi dokter karena keinginan Bunda sama ayah. Cuma biar Bunda bisa bangga sama aku. Biar ayah mau ngeliat aku sebagai seorang anak. Dari dulu, Bun ... aku selalu ngalah."
Rean pada akhirnya memilih bangkit. Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Kalau begini, kayaknya pikiran aku benar. Anak Bunda sama ayah cuma Zello, 'kan?"
Tidak ada yang bersuara. Anggia bahkan tercekat. Kesedihannya berganti dengan rasa bersalah. Hingga kemudian, Rean berdecak pelan dan memilih berlalu begitu saja.
"Oh, ya, Bun." Rean berhenti berjalan. "Ucapan Bunda benar. Aku bakal senang kalau Zello nggak ada lagi di hidup aku."
•••
"Kakak lo sama bunda lo ... kayaknya abis ribut di depan." Ghavi berucap. Ia memotek ampul obat dan memasukkannya ke dalam spuit. Dengan telaten, tanpa beralih sama sekali.
Selama ini, Ghavi tahu permasalah Zello dengan kakaknya. Ia bercerita, meski dengan santai dan sedikit bercanda. Terlihat tidak serius, tetapi Ghavi tahu, Zello menutupi kesedihannya sendiri.
"Bukannya diomongin baik-baik, malah makin parah. Lo juga, bukannya ngajak ngomong kakak lo baik-baik, malah tidur di sini. Sebelumnya malah menjauh gitu aja. Gimana bisa masalah lo selesai, Zel?"
Ghavi tahu, Zello tidak akan menjawab. Namun ia juga tahu, laki-laki itu tetap mendengarkan. Ketika bangun nanti, mungkin saja ia akan balas mengomel; bukannya dibacakan doa, malah diomeli.
"Bayangin kalau kalian berdua belum baikan dan lo telanjur ... nggak ada." Ghavi tidak ingin menahan ucapannya sendiri. Selama mendengarkan cerita Zello, ia juga memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. "Lo bakal jadi hantu penasaran karena pengin tahu gimana reaksi kakak lo kalau lo meninggal. Iya, 'kan?"
Dengan lengannya, Ghavi mengusap kedua mata yang terasa berembun. "Nanti, gue bakal datang ke makam lo dan ceritain gimana reaksi kakak lo, oke?" Ghavi terkekeh pelan, lalu menghela napas panjang. "Tapi, Zel. Gue maunya lo tahu sendiri. Gue yakin, kalau pada akhirnya hubungan kalian berdua membaik, kondisi lo juga pasti bakal ikut membaik. Selama ini ... harapan lo cuma itu, 'kan?"
•••
A/n
Agak pendek, tapi selama nulis ini aku nangis, gak tau kenapa wkwkwkwkwkwk
Btw, cerita ini emang gak panjang banget ya gais. Jadi siap-siap aja harus say goodbye :D terima kasih juga buat kesan pesannya, ik ben blij om deze berichten te lezen 😀
Sejujurnya aku lagi agak gimana yah wkwk capek juga nulis sendiri.
Yah, enjoy, Gais. Fijne dag verder!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder
Ficción GeneralAzello Narendra mungkin merasa bahwa ia sudah hidup sesuai dengan keinginannya. Cita-citanya sudah tercapai, dan Zello dapat menjalani hidupnya yang sempurna tanpa masalah. Tetapi, Rean, kakaknya, yang selalu menganggap Zello sebagai seorang rival...